PBNU Dukung Judicial Review Omnibus Law Cipta Kerja Diajukan ke MK

JABARNEWS | JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan mendukung uji materi atau judicial review Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam keterangan tertulis, Jumat (9/10/2020).

Said pun mengimbau masyarakat menahan hasrat turun ke jalan mengingat pandemi virus corona (Covid-19) belum selesai. Menurutnya, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan. “Upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa,” ujarnya.

NU, tegas Said, menolak UU Cipta Kerja yang baru disahkan Senin (5/10) lalu. Menurutnya, UU tersebut jelas merugikan rakyat kecil dan menguntungkan kapitalis.

Baca Juga:  Wabah Corona Meluas, Karyawan Pabrik di Subang Dirumahkan

Dlansir dari CNN Indonesia.com, Said menyoroti keberadaan pasal pendidikan yang termaktub dalam UU Ciptaker. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 26 poin K yang memasukkan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha. Kemudian Pasal 65 yang menjelaskan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU Ciptaker itu.

Said menegaskan bahwa lembaga pendidikan bukanlah sebuah perusahaan. Ia menilai pasal tersebut dapat melahirkan potensi pendidikan yang disulap sebagai sebuah entitas untuk mencari untung atau komersil. “Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni,” jelas Said.

Baca Juga:  Mahfud MD Pastikan Proyek BTS, Satelit SATRIA, dan Palapa Ring Tetap Jalan

Said juga menyoroti sistem kontrak kerja yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi para buruh atau pekerja. Ia mengaku cukup memahami aspirasi dan penolakan dari buruh terkait hal itu. Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor. Namun, di sisi lain merugikan jaminan hidup laik bagi kaum buruh dan pekerja.

Lebih lanjut, Said juga menyinggung soal sertifikasi halal. Menurutnya, dalam Pasal 48 UU Cipta Kerja telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hal tersebut dinilai mengokohkan pemusatan dan monopoli fakta kepada satu lembaga saja. “Semangat UU Ciptaker adalah sentralisasi, termasuk dalam sertifikat halal,” kata dia.

Baca Juga:  Olahraga Jadi Benteng Setelah Protokol Kesehatan 3M

Menurut Said, sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme syariah yang tumbuh dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi.

Selain itu, kata Said, UU Cipta Kerja itu juga akan mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal, karena kualifikasi auditor sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga atau pertanian. “Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal bias industri,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Said meminta warga NU harus memiliki sikap yang tegas dalam menilai UU Cipta Kerja. Ia menegaskan kepentingan rakyat kecil tetap harus diperjuangkan. (Red)