PPKM Darurat Diganti Level 4, DPRD Jabar: Antara Perut dan Maut

JABARNEWS | BANDUNG – Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Daddy Rohanady mengatakan, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat memang sudah berakhir pada 20 Juli 2021 lalu berbarengan dengan Idul Adha 1442 H.

Penerapan kebijakan tersebut di satu sisi sukses mencegah pergerakan masyarakat yang semula dikhawatirkan akan pulang kampung.

Menurutnya, banyak pejabat sudah menyatakan bahwa PPKM Darurat berhasil menekan angka peningkatan jumlah terkonfirmasi Covid-19. Angka-angka yang dipublikasikan memang mendukung semua itu.

“Belum lagi persentase angka keterisian tempat tidur di setiap rumah sakit yang terus turun. Semua itu memperkuat argumentasi keberhasilan PPKM Darurat,” kata Daddy dalam keterangan yang diterima, Selasa (27/7/2021).

Saai ini, dia mengungkapkan, Presiden Jokowi mengubahnya menjadi PPKM berlevel. Mayoritas wilayah pun menerapkan kebijakan wilayahnya di level 4.

Baca Juga:  Disnakertrans Jabar Kirim Tim untuk Selidiki Kasus Dugaan Pelecehan Karyawati di Bekasi

Menurut Daddy, tidak terlalu banyak perbedaannya antara PPKM Darurat dengan PPKM level 4. Hanya ada beberapa bagian yang dilonggarkan.

“Pada intinya, tujuannya memang sama, yakni mengurangi kemungkinan penyebaran Covid-19 secara lebih meluas,” ungkapnya.

Daddy menjelaskan bahwa di satu sisi tujuan kebijakan yang diambil pasti dipahami masyarakat. Namun, ada hal yang tak bisa diabaikan pula, karena pada dasarnya manusia memang butuh sehat, tetapi dia juga butuh makan.

“Andai kemudian kebijakannya seratus persen tak boleh berjualan, saya khawatir ini menjadi kebijakan yang kontraproduktif. Di satu sisi kita ingin memperhatikan kesehatan, tanpa mengabaikan sisi recovery ekonomi,” jelasnya.

Baca Juga:  Besok, Tim Gugus Tugas Covid-19 Kota Bandung Akan Rumuskan Kebijakan Zona Merah

Daddy mencontohkan, para pedagang asongan, misalnya, pasti tidak setuju dengan PPKM Darurat. Mereka mayoritas baru bisa makan dari hasil penjualan hari itu.

Bagi mereka, lanjut Daddy, makan tidaknya hari itu atau maksimal besok sangat bergantung pada hasil penjualan hari ini.

“Secara sederhana, kita bisa menjawab dengan mudah. Mereka akan melakukan penolakan. Mereka akan tetap berjualan. Itu semua mereka lakukan demi keluarganya. Bagaimana mungkin seseorang akan membiarkan keluarganya tidak makan?,” tuturnya.

“Bansos? Bukankah sudah dinyatakan bahwa besarannya Rp600.000 per keluarga per bulan. Andai suami-istri sebuah keluarga hanya satu yang jadi tulang punggung (mencari uang), berarti mereka berdua harus menggunakan dengan berhemat karena jatahnya Rp20.000 per hari,” tambahnya.

Baca Juga:  Korban Banjir Subang Mulai Terserang Penyakit Gatal

Lebih jauh, Daddy mempertanyakan, bagaimana kalau mereka harus membayar listrik dan PAM minimal. Apalagi kalau mereka mempunyai anak sekolah.

“Pulsa untuk anaknya harus dibayar pula. Berarti besaran biaya makan mereka per hari menjadi jauh lebih kecil lagi. Itu untuk mereka yang mendapat bansos,” paparnya.

Daddy menyebut, mereka bisa dipastikan akan tetap berdagang atau melakukan kegiatan lainnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka juga pasti menyadari risiko yang harus ditanggung.

“Jadi, kebijakan kita harus dipikirkan secara matang. Karena, seperti akhir deretan kata-kata saya di awal tulisan ini, kalau sudah berkaitan dengan perut, semua tak lagi takut maut,” tandasnya. (Red)