New Normal Life: Narasi Sesat Ala Kapitalisme

Penulis: Nisaa Qomariyah, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Muslimah Peduli Negeri)

New Normal Life merupakan strategi Barat untuk mengelabui dunia atas tabiat buruk peradaban yang mereka junjung, meskipun sirine kematian telah berbunyi. Tanda kematian itu telah tampak pada kondisi Amerika Serikat yang menjadi jantung peradaban Barat.

Tabiat buruk ini kian nyata melihat kegagalan kapitalisme dalam menangani pandemi Covid-19, yang semakin memperparah krisis di dunia. Dapat dikatakan New Normal Life bukanlah sekedar kehidupan dengan sejumlah protokol kesehatan. Namun, sejatinya kehidupan abnormal baru yang menjadi bawaan cacat kapitalisme di tengah wabah. Tidak heran jika terus dibiarkan akan menggerogoti dunia dan mengakibatkan tekanan depresi terburuk sepanjang sejarah. Alhasil, penyakit yang diderita dunia akan semakin kritis dan parah.

New Normal Life atau hidup secara normal dipahami sebagai upaya masyarakat untuk hidup secara normal, berdampingan dan berdamai dengan Covid-19 dengan menjalankan aktivitas seperti biasa. Konsep new normal life ala kapitalisme ini sejatinya merupakan solusi tambal sulam yang menitikberatkan pada penyelematan kepentingan ekonomi milik kapitalis, bukan untuk keselamatan kepentingan rakyat.

Indonesia, sebagai negara pengekor sekaligus menjadi target penting bagi penjajahan Barat, telah mengadopsi konsep batil yang sangat berbahaya ini. Diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (7/5/2020), melalui akun resmi media sosial Twitter @jokowi, dinyatakan, “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.”

Maksud itu dipertegas deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, “Ya, artinya jangan kita menyerah, hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan. Ke sananya yang disebut ‘The New Normal’. Tatanan kehidupan baru.” (muslimah wes.com, 26 Mei 2020).

Baca Juga:  Waduh, Banyak Kendaraan Parkir Sembarangan di Jalur Protokol Cimahi

Diduga opsi ini dipilih sebagai sinyal lepasnya tanggung jawab negara terhadap rakyatnya di tengah wabah. Dapat juga dikatakan bahwa masyarakat mau sakit atau meninggal dunia itu terserah bukan menjadi urusan negara lagi. Bahkan demi ide ini, pemerintah Indonesia telah melangkah jauh dengan mengeluarkan skenario dan timeline bagi konsep ‘New Normal’.

Dimuat pada laman kompas.com, 26 Mei 2020, Kementerian Perekonomian mengeluarkan skenario ‘Hidup Normal’ atau ‘New Normal’ dengan timeline pemulihan ekonomi nasional usai pandemi Covid-19. Skenario ini telah dibuat dari mulai awal bulan Juni mendatang. Dalam timeline tersebut dirumuskan lima fase atau tahapan yang dimulai tanggal 1, 8, 15 bulan Juni, dan 6, 20, 27 bulan Juli 2020. Adapun fase tersebut akan diikuti dengan adanya kegiatan membuka berbagai sektor dari sektor industri, jasa bisnis, toko, pasar, mal, sektor kebudayaan, sektor pendidikan, aktivitas sehari-hari di luar rumah.

Menjadi rahasia publik bahwa negeri ini berada dalam cengkeraman penjajahan ekonomi dan politik yang dilakukan Barat. Maka “New Normal” sebenarnya menunjukkan penjajahan dalam suasana baru. Suasana ketika Covid-19 sedang berkecamuk dan tuntutan imperialisme yang lebih besar atas resesi terparah dalam sepanjang sejarah. Sehingga, penderitaan yang akan ditimbulkan pada masyarakat tentu akan lebih dahsyat lagi.

Baca Juga:  Jabar Bertekad Bangun Infrastruktur Besar-besaran

New Normal konsep bernilai materi yang diambil menjadi solusi yang dianggap solutif. Padahal merupakan solusi semu berkarakter imperialisme. Di satu sisi, new normal life semakin membuktikan dengan gamblang bahwa rezim saat ini hanya berorientasi ekonomis demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Melihat ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis.

Mengejar pertumbuhan ekonomi demi kepenting kapitalis dengan mengabaikan keselamatan rakyat jelas perbuatan zalim. Apatah lagi di tengah wabah yang semakin mengganas. Membuka kemungkinan konsep New Normal Life justru membuka ancaman gelombang kedua pandemi.

Wabah Covid-19 telah memberikan banyak pembelajaran bagi umat manusia. Bahwa sejatinya kekuasaan yang tak berbasis akidah/syariah Islam akan selalu mengalami kegagalan dalam menuntaskan problematika kehidupan manusia.

Ini jelas sangat berbeda ketika kekuasaan ditegakkan menggunakan landasan Islam. Sudah terbukti selama 14 abad Islam telah memimpin 2/3 dunia. Kekuasaan Islam memberikan cahaya gemilang membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam.

Kekuasaan Islam senantiasa selalu menempatkan diri untuk urusan umat sebagai urusan paling utama. Meskipun suatu waktu negara mengalami kesulitan baik bencana dan wabah maupun serangan musuh. Penguasa akan menjadi perisai terdepan bagi umat manusia dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Tak heran jika benih-benih peradaban cemerlang telah bermunculan demi memberi jalan keluar terhadap berbagai persoalan yang datang. Berbagai penelitian, teknologi, sistem administrasi, pembangunan superstruktur dan infrastruktur didedikasikan oleh khilafah Islam, untuk kepentingan mengurus dan menjaga umat manusia serta demi kemuliaan agama mereka. Bukan demi memuaskan kerakusan para pemilik modal, sebagaimana dalam sistem sekarang yang telah dilakukan oleh penguasa.

Baca Juga:  Disaksikan Presiden Jokowi, PLN Gandeng TANESCO Kembangkan Ekosistem Ketenagalistrikan di Tanzania

Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya adalah Al-Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama 3 abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran alias gratis dan menyediakan obat-obatan secara gratis pula. Para sejarawan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun. (Will Durant – The Story of Civilization).

Maka alangkah naif, jika umat Islam hari ini masih belum tersadarkan juga dari tidur panjangnya. Berlama-lama mengharapkan sistem kapitalisme ini akan memberi kebaikan pada mereka semua. Padahal berbagai bukti bertebaran di depan mata dengan sangat gamblang, bahwa sistem ini jelas-jelas hanya menempatkan maslahat umat sebagai ladang untuk mencari keuntungan semata sang pemilik modal penuh kerakusan.

Bahkan sekularisme yang menjadi asasnya telah menjadikan negara dan rezim penguasanya kehilangan rasa welas. Hingga tega menempatkan rakyat hanya sebagai objek pemerasan dan seolah nyawa pun siap “diperdagangkan” tak ada arti.

Sudah saatnya umat kembali ke cahaya Islam yang dimana penguasa dan negara menjalankan amanah dan tanggungjawabnya sebagai perisai umat dengan aqidah Islam dan syariat Islam . Sebagaimana Allah SWT telah memberi mereka predikat bergengsi, sebagai sebaik-baik umat. (*)

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.