Kesiapan Indonesia Dalam Mewujudkan SMART ASN

Penulis: Aulia Hanadita Balkis, Hana Fitri Wulandari, Zola Jean Patton (Mahasiswa Universitas Indonesia jurusan Ilmu Administrasi Negara)

Setiap warga negara pada dasarnya membutuhkan pelayanan dari pemerintah sebagai pengendali kekuasaan. Adapun Pelayanan yang dimaksud ialah pelayanan publik.

Pelayanan publik merupakan suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada masyarakat atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik.

Dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: 1) Kemudahan dalam pengurusan bagi yang berkepentingan. 2) Mendapatkan pelayanan yang wajar. 3) Mendapatkan pelayanan yang sama tanpa pilih kasih. 4) Mendapatkan perlakuan yang jujur dan transparan.

Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peranan penting dalam menyelenggarakan pelayanan publik karena kinerja ASN berdampak langsung kepada masyarakat sebagai pengguna layanan. Dalam UU No.5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa ASN diharapkan mampu menyelenggarakan pelayanan publik dan menjalankan peran sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangsa dengan profesional, berintegritas, bebas dari intervensi politik, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi serta nepotisme.

Namun, sampai saat ini, masih terdapat permasalahan dalam pengembangan ASN di Indonesia. Menurut Djohermansyah Djohan, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), terdapat 7 permasalahan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdapat di Indonesia, di antaranya: 1) masih adanya mentalitas priyayi dalam diri para ASN. 2) kualitas pelayanan ASN yang masih buruk. 3) praktik korupsi dalam rekrutmen ASN. 4) banyaknya mutasi dan promosi yang dilakukan tidak sesuai aturan main. 5) korupsi yang dilakukan oleh ASN. 6) masih sering ditemukan pungutan liar oleh ASN kepada masyarakat. 7) politisasi birokrasi.

Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan ASN di Indonesia, pemerintah melakukan pengembangan Sumber Daya Manusia. Dalam teori Pengembangan SDM yang dikemukakan oleh Mondy dan Noe, disebutkan bahwa dalam kegiatan pengembangan SDM terdapat 4 kegiatan yang dapat dilakukan, yakni pelatihan dan pengembangan, perencanaan karir, penilaian kinerja, dan pengembangan organisasi.

Menurut Sedarmayanti, penataan Sumber Daya Manusia atau Aparatur dilakukan melalui pengukuran dengan memperhatikan aspek-aspek berikut: 1). Menerapkan sistem merit dalam manajemen kepegawaian, 2). Sistem diklat yang efektif, 3). Meningkatkan standar dan kinerja, 4). Pola karier yang tersusun secara jelas dan terencana, 5). Standar kompetensi jabatan, 6). Klasifikasi jabatan, 7). Tugas, fungsi, dan beban tugas proporsional, 8). Perekrutan sesuai prosedur, 9). Menempatkan pegawai sesuai keahlian, 10). Remunerasi yang memadai, 11). Perbaikan sistem informasi manajemen kepegawaian.

Baca Juga:  Setelah Giring Ganesha, Kini Dokter Tirta Deklarasi Siap Maju ke Pilpres 2024

Pengembangan SDM khususnya pada Aparatur Sipil Negara dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan kompetensi ASN, menghadapi perubahan yang dinamis, menghadapi revolusi industri 4.0, dan sebagai upaya untuk mewujudkan Smart ASN. Smart ASN memiliki tujuan untuk menciptakan Aparatur Sipil Negara yang berwawasan global, menguasai IT/Digital, dan daya Networking tinggi. Adapun beberapa strategi dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan kompetensi ASN dan mewujudkan Smart ASN diatur dalam RPJMN ke-3 dalam RPJPN 2005-2025.

Terdapat 6 langkah strategis pemerintah dalam mewujudkan Smart ASN, diantaranya: 1). Melakukan rekrutmen calon Pegawai Negeri Sipil yang berbasis Computer Based Test, 2). Pengembangan pola karier, 3). Pengembangan kompetensi, 4). Pengembangan karier, 5). Promosi melalui seleksi terbuka, dan 6). Rencana suksesi. Dengan adanya strategi dan upaya pengembangan SDM ini, diharapkan dapat menciptakan ASN yang kompeten, profesional, dan mampu menghadapi tantangan dan perubahan.

Dalam rangka mewujudkan smart ASN, Aparatur Sipil Negara (ASN) didorong untuk meningkatkan kompetensinya untuk menjawab tantangan yang akan terjadi. Namun, dalam menjawab tantangan tersebut, ASN di Indonesia masih harus bekerja keras. Menurut World Economy Forum Human Capital Indonesia pada tahun 2017, kualitas ASN di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan Malaysia dan Thailand. Selain itu, menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasiterdapat sebanyak 30 persen atau sejumlah 1,35 juta ASN yang memiliki kinerja yang buruk dan dalam mengerjakan tugasnya cenderung tidak maksimal, dimana masih banyak ASN yang belum paham akan tugas dan kewajibannya.

Hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan ASN, dimana sebanyak 60 persen masih berlatar belakang Diploma, SMA, atau tingkat pendidikan yang lebih rendah. Selain itu, menurut data nasional hanya terdapat 10 persen ASN yang merupakan tenaga fungsional, 36 persen tenaga administrasi dan 11 persen pejabat struktural terkecuali guru dan tenaga medis, serta masih banyaknya ASN yang kompetensinya tidak sesuai dengan tempat kerjanya.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan smart ASN adalah dengan mengembangkan kompetensi ASN. Namun, Pengembangan kompetensi ASN di Indonesia cenderung masih kurang optimal diterapkan di instansi publik. Pengembangan ASN justru diimplementasikan hanya untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan saja, misalnya untuk promosi jabatan.

Baca Juga:  Polri Sebut Jenazah Eril Diperkirakan Tiba di Indonesia Minggu Pagi

Peristiwa ini menunjukan bahwa sebagian besar instansi publik tidak memiliki serangkaian perencanaan mengenai pengembangan kompetensi. Padahal menurut UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan bahwa setiap ASN memiliki hak untuk mengembangkan dirinya minimal 20 jam pelajaran dalam setahun. Selain itu, ASN perlu mengikuti pendidikan dan latihan pimpinan atau prajabatan. Namun, kesadaran dari individu ASN untuk mengembangkan potensi dirinya pun rendah.

Permasalahan lain yang membuat smart ASN masih butuh kerja keras untuk diwujudkan adalah masih banyaknya ASN yang belum mahir dalam mengaplikasikan teknologi informasi (IT) atau gagap teknologi. Hal ini dikarenakan masih mendominasinya ASN yang berusia di atas 50 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 923 ribu ASN yang berumur 51 hingga 55 tahun, sedangkan yang berusia 56 hingga 60 tahun sejumlah 569 ribu. Menurut Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Harya Wibisana, pada 10 tahun mendatang 65 persen pekerjaan saat ini akan hilang dan berubah menjadi paperless. Dengan begitu, maka ASN tidak mampu bersaing dengan dunia global karena tidak dapat mewujudkan inovasi-inovasi yang ada dengan bantuan teknologi digital maupun big data. Sehingga nantinya tidak dapat mewujudkan pelayanan publik yang mudah, murah, dan tidak berbelit.

Selain itu, salah satu nilai yang dibawa dalam smart ASN adalah menjunjung integritas. Namun dalam implementasinya masih banyak integritas dari ASN yang masih diragukan. Hal ini disebabkan oleh masih maraknya kasus jual beli jabatan di kalangan ASN. Jual beli jabat tersebut masih marak dilakukan di 10 provinsi yang ada di Indonesia, yaitu Banten, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, NTT, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan Riau. Bahkan di beberapa tempat pun proses pengangkatan dan pemberhentian ASN seringkali tidak mengikuti peraturan. Dimana faktor yang mendorong peristiwa tersebut adalah karena penerapan sistem merit yang tidak sesuai aturan.

Penerapan smart ASN berpengaruh secara signifikan terhadap Pengelolaan Keuangan Negara. Namun masih banyaknya ASN yang melakukan tindakan jalan pintas untuk mencapai tujuan dengan asal melakukan pekerjaan tanpa adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik dan mindset yang ingin mendapatkan pelayanan bukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada dasarnya masyarakat memiliki hak mendapatkan informasi terkait keuangan negara secara akuntabel dan transparan guna meyakinkan bahwa pengelolaan keuangan negara telah dilaksanakan dengan baik dan telah diberikan untuk kepentingan rakyat. Menurut data Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan bahwa skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2018 berada di peringkat 89 dengan nilai 38 dari 180 negara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas di Indonesia masih lemah, di bawah angka rata-rata CPI Internasional dengan nilai 43.

Baca Juga:  Fokus JP Gelar Raker Tahunan, Bahas Peran Media Massa Di Tengah Pandemi

Indonesia masih berusaha dalam mewujudkan smart ASN dengan memperbaiki permasalahan yang masih ada di Indonesia. Indonesia berada di peringkat ke-67 dari 125 negara dalam Global Talent Competitiveness Index 2019, dengan nilai 38,61. Untuk memperbaiki indeks, perlu adanya perbaikan struktur ASN yang didukung manajemen talenta terbaik. integrasi manajemen talenta institusional dari seluruh instansi guna membentuk talent pool nasional yang kemudian diselaraskan dengan manajemen talenta korporasi. sehingga dapat mobilisasi talenta lintas sektor, baik publik maupun privat dengan fokus dan prioritas pembangunan pusat dan daerah. Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang berkualitas dan responsif yang masih tinggi. Dalam e-government survey 2018, Indonesia berada pada peringkat 107 dari 193 Anggota PBB. Indonesia masih belum dapat mengimbangi negara-negara di Asia Tenggara terkait penerapan e-government. Penerapan e-government dapat mendukung efektivitas pemerintah dalam penerapan pelayanan publik yang lebih inovatif.

Jadi, secara keseluruhan Indonesia tergolong masih belum siap mewujudkan smart ASN. Hal ini dikarenakan masih banyaknya permasalahan yang terjadi di ASN terutama terkait dengan kompetensi. Untuk dapat mewujudkan smart ASN maka dibutuhkan perubahan terutama dalam hal budaya kerja supaya ASN di Indonesia mampu bersaing dengan dunia global. Sebagai wujud untuk menyukseskan smart ASN dengan melakukan penataan ASN diharapkan dapat membawa sebuah optimisme bahwa ini merupakan langkah strategis untuk mempercepat mewujudkan aparatur negara yang profesional, berintegritas dan memiliki budaya melayani sebagai wujud tata kelola pemerintah dalam bersaing dengan negara lain. (Red)

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.