Marak Perceraian di Tengah Pandemi, Tanggungjawab Siapa?

Penulis: Nelly, M.Pd (Aktivis Peduli Ibu dan Generasi, Pegiat Opini Medsos).

Sangat memprihatinkan dengan adanya tren kasus perceraian sepanjang tahun ini. Angka perceraian semakin menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun. Benteng terakhir bagi keluarga muslim ini pun kini mulai mengikis menyisakan persoalan baru yang tak bertepi.

Betapa tidak, di tengah pandemi ini kasus perceraian pasutri kembali marak terjadi. Hampir di semua daerah selama pandemi terjadi kasus perceraian. Seperti yang dilansir dari berita minews.co, kasus perceraian terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan data Pengadilan Agama Cianjur, jumlah pendaftar gugatan dalam satu hari bisa mencapai 50 orang. Hingga Juni 2020 kasus gugatan cerai yang terdaftar mencapai 2.029 kasus.

Dilansir dari media medcom.id, tingkat perceraian pasangan suami istri (pasutri) di Jakarta Pusat (Jakpus) meningkat selama pandemi covid-19. Sejak awal virus korona mewabah pada Maret 2020, Pengadilan Agama Jakarta Pusat menerima 600 gugatan perceraian. Yang cerai itu mencapai 150 pasang pasutri dari jumlah perkara yang masuk 250, kata Kepala Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Sirajuddin Sailellah, di Jakarta (21 Juli 2020).

Sementara dilansir dari CNN Indonesia, Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Semarang mencatat kenaikan drastis kasus perceraian selama masa pandemi virus corona (covid-19). Kenaikan kasus hingga tiga kali lipat itu disinyalir disebabkan oleh masalah ekonomi dalam rumah tangga. Tak hanya menyentuh ranah kesehatan, ekonomi dan pendidikan, ternyata wabah covid-19 sudah berdampak juga hingga ke sendi kehidupan keluarga. Fakta yang sama juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya hingga menjadi tren. Bayangkan saja nyaris setengah juta pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang tahun 2019. Dari jumlah data yang ada, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri.

Tren perceraian pada 2018 juga tak kalah maraknya, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun 2017. Sedangkan dari Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019 yang dikutip detikcom, perceraian tersebar didua pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama untuk menceraikan pasangan muslim, sedangkan Pengadilan Negeri menceraikan pasangan nonmuslim. Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama seban5yak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Peningkatan angka perceraian ini hampir terjadi merata diseluruh daerah di negeri ini. Dari semua kasus perceraian ini di dominasi akibat permasalahan ekonomi hingga KDRT (28/2/2020).

Baca Juga:  Sidang Perdana Sunda Empire Segera Digelar Di PN Bandung

Miris sekaligus menyesakkan dada, inilah fakta yang terjadi pada pasutri di negeri mayoritas muslim ini. Padahal sejatinya setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan keluarganya mencapai kebahagiaan, sakinah mawaddah warahmah. Akan tetapi tidak sedikit bahtera rumah tangga itu kandas karena terpaan badai masalah rumah tangga yang tak kunjung reda. Gagal mencapai apa yang dicita-citakan bersama, sebuah pernikahan langgeng bahagia, gagal menjadikan keluarganya dan rumahnya sebagai surga bagi suami, istri dan anak-anaknya. Upaya perdamaian antara suami istri juga tidak membuahkan hasil, akhirnya perceraianlah yang diambil sebagai pilihan solusinya.

Adapun dampak yang kemudian akan muncul pada kasus darurat perceraian ini tentu saja akan dirasakan langsung oleh generasi penerus bangsa. Keluarga adalah benteng terakhir pertahanan kaum muslimin, di mana institusi keluargalah akan dicetak anak-anak penerus peradaban yang sholeh-sholeha. Ketika keluarga-keluarga banyak yang retak akibat perceraian orang tuanya dapat dipastikan generasi kita akan kehilangan arah, mudah terseret pada hal-hal yang negatif dan pada arus kenakalan remaja pastinya akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Dengan semakin daruratnya kasus perceraian ini tentunya menjadi pertanyaan besar yang mesti terjawab.

Mengapa kasus ini menjadi tren sepanjang tahun? Mengapa sampai saat ini belum juga ada solusi untuk mengatasi problem keluarga di negeri ini? Jika dilihat sebenarnya pemerintah sendiri sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kasus perceraian yang menjadi masalah di negeri ini telah banyak melakukan langkah tindakan dalam menyelesaikan persoalan karut-marut masalah keluarga di negeri ini. Yang terakhir tengah digodok RUU Ketahanan Keluarga, yang salah satunya membahas kasus perceraian. Namun solusinya pun belum menyentuh akar permasalahan. Karena memang persoalan keluarga ini adalah persoalan sistemik, maka penyelesainyapun juga harus sistemik sampai keakar masalahnya.

Baca Juga:  Gegara Kalah Saingan, Seorang Pria Asal Purwakarta Tega Aniyaya Temannya

Jika kita telaah bersama persoalan perceraian yang semakin marak dan meningkat ini yaitu faktor penerapan sistem sekularisme yang diadobsi bangsa ini menjadikan kapitalislah mengatur sistem ekonomi. Sehingga mengakibatkan beratnya pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga karena negara abai memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Sistem ekonomi kapitalis membuat kesenjangan sosial kian dalam karena kekayaan hanya dikuasai segelintir orang. Negara pun kurang membuka lapangan pekerjaan yang layak bagi para pencari nafkah. Akibatnya perempuan yang dipandang sebagai pegiat ekonomi oleh para kapitalis harus ikut bersusah payah mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Perempuan akan semakin banyak yang meninggalkan keluarganya untuk bekerja, baik dalam keadaan terpaksa maupun sukarela. Suami istri sibuk diluar rumah, bahkan mungkin akan terjadi perselingkuhan dengan adanya WIL atau PIL ini juga menjadi salah satu penyebab perceraian. Sedangkan anak-anak di rumah tidak ada lagi yang mendidik, memberi tauladan dan bisa jadi mereka akan terjerumus pada kasus kenakalan remaja juga. Semua malapetaka yang menimpa keluarga muslim ini sudah saatnya diakhiri, kalau tidak maka kehancuran bangsa yang akan kita dapati. Tidak dijadikannya hukum-hukum Islam sebagai pedoman dalam kehidupan keluarga-keluarga muslim ini menjadi penyebab utamanya. Nilai-nilai Islam di tengah keluarga sedikit demi sedikit luntur, suami istri tidak lagi memahami hak dan kewajibannya.

Di sisi lain derasnya arus globalisasi yang hakekatnya adalah kapitalisasi dan liberalisasi, turut menggerus nilai-nilai Islam dalam keluarga. Sistem sekularisme kapitalisme menjadikan ukuran kebahagiaan adalah terpenuhinya materi sebanyak-banyaknya. Sistem ini memelihara kondisi lingkungan materialistis dan konsumtif hingga tingkat stres tinggi dialami para suami dan istri mengakibatkan sulitnya tercipta keharmonisan di dalam keluarga, akhirnya keutuhan rumah tangga pun terancam. Keluarga dalam sistem sekular kapitalis jauh dari nilai-nilai agama, hubungan yang terjalin terjebak pada pemenuhan kebutuhan hawa nafsu dan materi semata. Meski perceraian dibolehkan dalam Islam namun amat dibenci oleh Allah SWT. Sudah seharusnya dari tiap pasangan muslim berupaya menjaga keutuhan rumah tangga. Hingga terlahir generasi terbaik yang akan membawa kemajuan bangsa.

Selain dengan memupuk keimanan, ketakwaan, dan kesiapan mengarungi bahtera rumah tangga, negara memiliki peran besar untuk menyelesaikan problem tingginya angka perceraian. Jika problemnya adalah masalah finansial, maka Islam yang sempurna telah mengatur agar kebutuhan finansial setiap individu warganya terpenuhi oleh negara. Islam yang diterapkan dalam institusi negara, harus menjamin kebutuhan pokok warganya, mengatur kepemilikan di tengah umatnya, menyediakan lapangan pekerjaan, dan menyediakan layanan pendidikan, kesehatan serta keamanan. Islam memberikan kewajiban untuk mencari nafkah pada kaum pria, bukan perempuan.

Baca Juga:  Hari Ini, Penutupan Jalan di Kota Bandung Dimulai Dari Pagi, Cek Lokasinya!

Islam juga memberikan kewajiban bagi kerabat dekat untuk membantu saudaranya yang kekurangan. Jika kerabat dekatnya juga tidak mampu untuk membantu, maka negara berkewajiban untuk membantu rakyat miskin dengan memberikan zakat. Islam pun mewajibkan semua kaum muslim untuk membantu orang-orang miskin. Islam juga secara sempurna mengatur peran ayah/suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga yang berkewajiban memenuhi nafkah keluarga dan menjadi imam yang baik bagi istri dan anak-anaknya, menanamkan nilai-nilai Islam agar selamat dari api neraka. Peran istri tak kalah penting, yaitu sebagai ummu warabbatul bait dan madrasah pertama bagi anak-anak serta memberi rasa tenteram dalam rumah.

Hubungan suami istri dalam Islam bukan sekedar pemenuhan nafsu dan materi namun hubungan persahabatan saling menyayangi dan menjaga ketaatan kepada Allah agar menjadi pasangan dunia-akhirat. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (TQS. Ar Rum: 21).

Demikianlah penjagaan keutuhan rumah tangga dalam Islam, setiap peran dalam kehidupan dilakukan dalam bingkai ketaatan kepada Allah SWT dan negara berperan besar menjaga keberlangsungan hukum Islam dijalankan dalam seluruh aspek kehidupan. Hingga tercapai keselarasan hidup dalam keluarga dan masyarakat. Kehidupan seperti gambaran keindahan ini hanya akan kita dapatkan manakala kita kembali pada pengaturan kehidupan baik bagi keluarga, masyarakat, maupun sampai negara dengan menerapkan sistem Islam kaaffah sebagaimana kanjeng Nabi contohkan. (*)

Isi tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.