Jenazah Tidak Dimakamkan di Desa Trunyan?

Penulis: Shannon Neda Wijaya (Accounting 2A Universitas Prasetiya Mulya Dengan Bimbingan Dr. Naupal S.S., M.Hum)

Memiliki tradisi dan kebudayaan yang beragam dan unik telah menjadi salah satu daya tarik yang dimiliki Indonesia. Warisan leluhur inilah yang sering mendatangi wisata-wisata asing dari berbagai mancanegara. Salah satu tempat wisata yang menjadi pusat wisata baik untuk wisata asing maupun local adalah Bali (Pulau Dewata). Bali terkenal dengan alamnya yang indah terutama pantainya.

Tradisi unik tersebut adalah tradisi dimana mayat tidak dikubur atau dibakar (ngaben), melainkan hanya diletakkan di atas tanah dan dibiarkan begitu saja sampai membusuk dengan sendirinya. Tradisi ini dilaksanakan di desa tertua dari Pulau Dewata, yaitu Desa Trunyan, dimana penduduknya disebut sebagai “Bali Aga” atau Bali tua.

Di Desa Trunyan, terdapat sebuah pohon yang telah berusia ribuan tahun, yaitu pohon Taru Menyan. Nama Trunyan sendiri berasal dari nama pohon ini, Taru berarti “pohon” dan Menyan berarti “harum”. Seperti namanya, pohon ini mengeluarkan bau harum yang menyengat hingga pada akhirnya penduduk memutuskan untuk menjadikannya sebagai tempat pemakaman.

Masyarakat sekitar percaya bahwa mayat yang diletakkan disana tidak mengeluarkan bau busuk karena telah diserap oleh pohon besar tersebut. Masyarakat desa Trunyan juga percaya bahwa leluhur mereka adalah manusia yang turun langsung dari langit untuk memberikan kehidupan di desa Trunyan tanpa kontaminasi adat lain.

Baca Juga:  Teknologi Sih Canggih, Tapi Sayang Bacaannya Tidak Berkualitas

Tradisi pemakaman di desa Trunyan juga dapat disebut dengan istilah “Mepasah”. Tempat pemakaman ini hanya dibatasi untuk 11 mayat, dimana setiap ada mayat baru, mayat yang paling lama akan dipindahkan ke tempat lain untuk dibiarkan sampai hanya tersisa tulangnya. Pemakaman di Sema Wayah (dekat pohon Taru Menyan) hanya diperkenankan bagi penduduk mereka yang meninggal secara wajar dan sudah menikah. Bagi mereka yang belum menikah, bayi, dan anak-anak akan dimakamkan di Sema Muda. Lalu, mereka yang meninggalnya tidak wajar seperti kecelakaan, dibunuh, maupun bunuh diri, akan dimakamkan di Sema Bantas.

Proses pemakaman mayat diawali dengan upacara pembersihan dan dilanjutkan dengan memandikan mayat dengan air hujan. Setelah itu, mayat akan dibungkus dengan kain dan diletakkan di lubang sedalam 10-20 cm. Lubang ini bertujuan untuk menjaga mayat agar tidak bergeser karena kontur tanah. Di sekitar mayat, akan diberikan ulatan bambu penghalang yang dinamakan ancak saji untuk menghindari kerusakan mayat oleh binatang buas. Di sekitar tempat pemakaman juga akan diletakkan barang-barang yang jenazah tersebut sukai atau kerap gunakan semasa hidupnya.

Baca Juga:  Pemudik Dengan Sepeda Motor Meningkat

Kemudian, mayat akan dibiarkan hancur secara alami sampai hanya tersisa tulang. Tulang badan, kaki, dan tangan akan ditumpuk di samping pintu gerbang Desa Trunyan. Sedangkan tulang kepala akan disusun berjejer di atas sebuah altar di dekat pohon Taru Menyan. Konon katanya, perempuan dari Desa Trunyan dilarang untuk berkunjung ke pemakaman, jadi seluruh proses pemakaman hanya dilakukan oleh para lelaki saja. Hal tersebut dilakukan karena penduduk Bali Aga Desa Trunyan memiliki kepercayaan bahwa apabila ada perempuan yang mengikuti proses pemakaman, maka akan terjadi gempa bumi atau letusan gunung berapi di Desa Trunyan.

Penduduk Desa Trunyan dikenal sangat berpegang teguh pada kebudayaannya, maka sudah menjadi sebuah keharusan bagi mereka untuk menjaga dan melestarikan tradisi serta budaya dari para leluhur. Hal ini juga merupakan penerapan dari Pasal 32 ayat 1 dari Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, yang mengatakan bahwa negara diharapkan dapat memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budayanya. Tradisi pemakaman di Desa Trunyan dapat dihubungkan dengan kalimat “manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah” yang dapat dikaitkan dengan pengamalan sila ke-1 dari Pancasila yang memiliki arti mengenai sebuah kepercayaan kepada Tuhan. Hal ini ditunjukkan dari proses pemakaman jenazah di Desa Trunyan yang tidak dikubur atau dibakar, tapi dibiarkan begitu saja sampai bercampur dengan tanah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa prosesi pemakaman tersebut menunjukkan bahwa manusia yang berasal dari tanah pada akhirnya akan kembali juga ke tanah.

Baca Juga:  Temui Ketua Kontingen Asian Games, AMSI: Buka Luas Akses Untuk Media

Pelestarian tradisi dari para leluhur yang telah dilaksanakan oleh Desa Trunyan merupakan pengamalan sila ke-3 dari Pancasila mengenai Persatuan Indonesia. Proses pemakaman yang dilakukan secara alami tanpa merusak lingkungan sekitar juga merupakan salah satu tindakan mencintai negara dengan menjaga lingkungan. Selain itu, pelestarian budaya maupun tradisi menunjukkan rasa cinta Desa Trunyan terhadap Indonesia karena telah mencintai budayanya sendiri. Meskipun arus globalisasi terus bergerak maju dan banyak budaya asing yang ingin memasuki Indonesia, Desa Trunyan tidak tergoyahkan dan tetap berpegang teguh pada tradisinya. Makna dan nilai yang dapat kita petik dari tradisi pemakaman di Desa Trunyan adalah kebersamaan, gotong royong, mementingkan kepentingan kelompok diatas kepentingan pribadi dan pelestarian kearifan lokal. (*)

Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis