Anak-anak Berpotensi Tinggi Masuk ODGJ karena Gadget

JABARNEWS | BANDUNG – Gangguan jiwa saat ini tidak hanya menyerang orang dewasa hingga orang tua, melainkan anak-anak pun sekarang berpotensi tinggi masuk dalam kategori orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Potensi tersebut semakin besar dikarenakan pengaruh penggunaan gadget.

Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Jawa Barat, Elly Marliyani menuturkan, sekarang banyak anak-anak mendapat gadget, di mana awalnya pemberian dilakukan agar anak bisa bermain tanpa mengganggu kegiatan orang tua. Sayangnya, penggunaan tersebut justru membuat anak menjadi kecanduan.

“Kalau gadget dipakai berlebihan dan menjadi ketergantungan bisa mengganggu jiwa anak tersebut,” ujar Elly dalam kegiatan Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate Bandung, Kamis (10/10/2019).

Baca Juga:  Lagi, Dua ASN di Sergai Terkonfirmasi Positif Covid-19, Kini Total 11 Kasus

Elly memaparkan, selama ini ODGJ biasanya menyerang remaja dengan usia mulai 15 tahun ke atas. Namun, dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin pesat seperti saat ini banyak anak-anak dimasukkan ke rumah sakit jiwa (RSJ).

Di RSJ Jawa Barat sendiri, pihaknya telah banyak menerima anak-anak yang sengaja dititipkan orang tuanya untuk direhabilitasi dan diberikan penanganan lebih lanjut. Anak-anak tersebut, kata dia, ada yang berusia lima, hingga delapan tahun.

Selain itu, lanjut dia penggunaan zat adiktif di kalangan remaja juga mendongkrak jumlah gangguan jiwa secara tajam. Pasalnya, zat tersebut bisa membuat seseorang memiliki keinginan terus menggunakannya, meskipun tidak baik bagi tubuh.

Baca Juga:  Sstt..! Maria Ozawa Ajak Ngedate Vicky Prasetyo di Indonesia

“Ada juga remaja yang kecanduan karena zat adiktif, kecanduan alkohol, dan juga merokok yang menjadi gerbang dalam penggunaan napza lainnya,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinkes Jabar, Arief Sutedjo mengatakan, anak-anak juga memiliki potensi tinggi menjadi sakit jiwa karena kondisi sosial yang berkembang di masyarakat. Untuk mengurangi dampak tersebut, orang tua dan guru memiliki peran penting membangun sikap anak.

“Misalnya guru bimbingan sosial (BP) harus bisa mengajarkan anak agar menghindari hal negatif yang bisa ada di sekolah. Mereka juga harus diajarkan bisa bergaul dengan lingkungan yang baik,” tutur Arief.

Baca Juga:  Eks Menag Lukman Hakim Sebut Gonggongan Tunda Pemilu Jauh Lebih Mengganggu Indonesia

Di sisi lain, Staf Khusus Gubernur Bidang Kesehatan, Siska Gerfianti mengatakan, pada 2030 persoalan kesehatan yang paling banyak menghantui masyarakat adalah penyakit tidak menular. Salah satu yang dikhawatirkan, kata dia, adalah meningkatnya penyakit depresi.

Persoalan depresi tersebut timbul karena tekanan sosial di berbagai hal, hingga penyebaran berita bohong (hoaks). Sebab, banyak dari masyarakat yang kerap mengalami stres ketika mendengar sebuah kabar yang terjadi, di mana informasi tersebut belum tentu benar.

“Dengan penyebaran hoaks depresi bisa meningkat. Maka kita harus cegar bersama penyebaran hoaks,” tutupnya. (Rnu)