Ragam

Terima Hanya Rp30 Juta, Dipenjara Tetap 4 Tahun: Ferry Cahyadi Tersandung Suap Mini, Vonis Maksimal

×

Terima Hanya Rp30 Juta, Dipenjara Tetap 4 Tahun: Ferry Cahyadi Tersandung Suap Mini, Vonis Maksimal

Sebarkan artikel ini

 

JABARNEWS | BANDUNG – Di negeri yang terkenal gemar memaafkan koruptor berdasi, Ferry Cahyadi malah mendapat perlakuan berbeda. Mantan anggota DPRD Kota Bandung ini harus menerima kenyataan pahit: dijatuhi vonis 4 tahun penjara hanya karena dituduh menerima suap Rp30 juta. Ironisnya, vonis tersebut hanya terpaut enam bulan dari koleganya yang terbukti menerima ratusan juta rupiah. Rupanya, di mata hukum, angka kecil bisa jadi lebih mencolok—apalagi jika pelakunya tidak cukup “beruntung”.

Vonis yang Dinilai Zalimi Logika

Ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung  Dodong Iman Rusdani menyatakan Ferry terbukti menerima uang suap dalam skandal korupsi program Bandung Smart City yang mencakup pengadaan CCTV dan penerangan jalan umum (PJU) pada APBD-P 2022. Dalam dakwaan, Ferry disebut menerima Rp30 juta dari mantan Sekda Kota Bandung, Ema Sumarna, guna meloloskan pengajuan anggaran proyek senilai puluhan miliar rupiah.

Namun vonis ini mengundang pertanyaan besar. Pasalnya, tiga terdakwa lain yang menerima jumlah suap jauh lebih besar justru mendapat hukuman tak jauh berbeda:

Achmad Nugraha menerima Rp200 juta, divonis 4 tahun 6 bulan

Riantono menerima Rp270 juta, divonis 4 tahun 6 bulan

Yudi Cahyadi menerima Rp500 juta, divonis 4 tahun 6 bulan

Baca Juga:  Proyek Trotoar Rp8 M Dinas PUPR Cianjur Dikeluhkan Warga

Sementara Ferry Cahyadi, yang disebut menerima Rp30 juta, divonis 4 tahun penjara

Publik pun bertanya-tanya: apakah ini bentuk keadilan? Ataukah hanya soal siapa yang paling duluan tertangkap?

Hukum Harusnya Butuh Lebih dari Satu Saksi

Kuasa hukum Ferry, Budi Rahman SH., MH., dengan tegas menyatakan bahwa vonis tersebut merupakan pendzoliman hukum. Ia menyoroti bahwa putusan majelis hakim hanya berdasar pada satu saksi kunci, yakni Khairul Rizal, yang menurutnya sejak awal sudah tak konsisten.

“Ferry Cahyadi dihakimi berdasarkan keterangan satu orang. Itu saja sudah cacat hukum. Sesuai aturan, minimal harus ada dua saksi yang memberikan keterangan,” tegas Budi usai sidang , Selasa (24/6/2025)

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa Khairul Rizal memberikan sejumlah pernyataan yang bertolak belakang dengan bukti di persidangan. Misalnya, Rizal menyebut menyerahkan uang atas perintah Dadang Darmawan, Kadishub afesaat itu. Namun, fakta di persidangan membuktikan tidak pernah ada perintah seperti itu.

“Katanya Khairul datang ke Kafe Pawon Pitu naik motor, padahal Mustofa bilang dia dijemput pakai mobil dari Pendopo. Bahkan Mustofa juga tak melihat Khairul membawa uang itu,” lanjut Budi.

Baca Juga:  Robert Albert Sambut Positif Jamu Persija di Bali

Ironisnya lagi lanjut Budi, selain Ferry harus membayar uang pengganti Rp 30 juta, kliennya juga harus membayar denda Rp200 juta. Sedang uang yang didakwakan terima suap hanya Rp 30 juta. Bagaimana logika hukum yang berlaku.

Keluarga Syok, Ibunda Ferry Pingsan di Ruang Sidang

Tak hanya sang pengacara yang terpukul, keluarga Ferry pun tak kuasa menahan emosi. Usai putusan dibacakan, ibunda Ferry disebut pingsan di ruang sidang. “Semuanya shock, termasuk ibunya Ferry,” ucap Budi.

“Saya yakin dia tidak bersalah. Kalau bersalah, saya tidak akan sampai segitunya membela. Ini soal keadilan. Kalau kita diam, maka kita membiarkan ketidakbenaran terus berdiri.”

Akan Tempuh Banding: “Masih Ada Hakim yang Jujur”

Tak tinggal diam, tim kuasa hukum langsung menyatakan akan mengajukan banding. Mereka berharap di tingkat pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung, masih ada keadilan yang bisa ditegakkan.

“Kalau kami tidak melakukan banding, itu artinya kami mengiyakan ketidakadilan ini. Saya percaya masih ada orang-orang baik di pengadilan tinggi.”

Lebih lanjut, Budi mengungkapkan bahwa penghasilan Ferry sebagai anggota DPRD mencapai Rp75 juta per bulan, dan uang yang dituduhkan sebagai suap sebenarnya merupakan uang tabungan pribadi.

Baca Juga:  Densus 88 Temukan Cairan Kimia Terduga Teroris Cirebon

“Saya sudah berikan bukti asal-usul uang itu. Logikanya, untuk apa Ferry mau ambil Rp30 juta kalau penghasilan dia lebih dari dua kali lipat itu setiap bulan?”

Ferry Hanya Pasif: Sekadar Hadir, Lalu Diseret

Dalam keterangannya, Budi juga menyampaikan bahwa kliennya tidak aktif dalam pengambilan keputusan anggaran. Ferry hanya hadir saat ekspose proyek Bandung Smart City, dan tidak mengambil bagian dalam komunikasi maupun persetujuan alokasi anggaran.

“Dia diundang, datang, bersifat pasif. Tapi tetap dianggap sebagai bagian dari korupsi berjamaah. Ini tidak adil.”

Korupsi atau Ketidakadilan yang Dipaksakan?

Kasus Ferry Cahyadi membuka kembali lembaran lama tentang inkonsistensi sistem peradilan di negeri ini. Ketika yang menerima ratusan juta bisa divonis ringan, dan yang diduga hanya menerima puluhan juta justru dihukum hampir sama, maka pertanyaannya bukan lagi siapa bersalah—tapi siapa yang lebih “beruntung” dalam pengadilan.

Satu hal yang pasti: Ferry dan kuasa hukumnya tidak tinggal diam. Mereka memilih untuk melawan, bukan hanya demi klien, tetapi juga demi menegakkan keadilan yang, entah mengapa, semakin sulit ditemui di ruang-ruang sidang kita.(Red)