JABARNEWS | BANDUNG – Wakil Ketua DPRD Kota Bandung, Edwin Senjaya, menegaskan pihaknya tidak menutup diri terhadap evaluasi tunjangan perumahan anggota dewan yang nilainya mencapai Rp58 juta per bulan. Isu yang belakangan menuai sorotan publik itu, menurutnya, justru menjadi momentum penting untuk meninjau kembali regulasi agar sejalan dengan asas kepatutan dan kemampuan keuangan daerah.
“Uang representasi dan tunjangan dewan ini regulasinya sudah diatur pemerintah pusat. Jadi kita persepsi sama, semua setuju bilamana dilakukan evaluasi,” ujar Edwin saat ditemui di ruang kerja pimpinan dewan, Rabu, 10 September 2025.
Dasar Hukum dan Besaran Penghasilan
Edwin menjelaskan, berbeda dengan DPR RI yang menggunakan istilah gaji pokok, DPRD kota maupun kabupaten memakai istilah uang representasi. Besaran dan rinciannya diatur dalam peraturan pemerintah serta peraturan daerah.
Berdasarkan regulasi, penghasilan anggota DPRD mencakup uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan transportasi, hingga tunjangan perumahan.
Uang representasi anggota DPRD kabupaten/kota tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD, serta Permendagri Nomor 62 Tahun 2017 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah. Sementara itu, teknis di Kota Bandung diatur melalui Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 22 Tahun 2024.
“Intinya mengevaluasi seluruh peraturan yang mengatur tunjangan yang diberikan kepada DPRD kita tidak keberatan, karena yang mengatur keuangan kita adalah pemerintah pusat,” tegas Ketua DPD Partai Golkar Kota Bandung tersebut.
Take Home Pay dan Potongan Pajak
Lebih jauh, Edwin menyebut total take home pay anggota DPRD Kota Bandung mencapai sekitar Rp90 juta per bulan. Namun, jumlah itu masih harus dipotong Pajak Penghasilan (PPh) yang nilainya mencapai Rp20 juta. Bahkan, menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada tambahan pajak progresif di akhir tahun.
“Yang otomatis juga itu akan mengurangi pendapatan total dari anggota DPRD itu sendirinya. Lalu kemudian juga sebagaimana lazimnya, kami juga harus mengeluarkan untuk iuran partai dan fraksi. Dan pengeluaran-pengeluaran lain masing-masing anggota DPRD yang nominalnya berbeda-beda,” jelasnya.
Edwin menambahkan, selain untuk kebutuhan pribadi, sebagian besar penghasilan anggota dewan kembali disalurkan kepada masyarakat. Banyak warga yang datang dengan berbagai kebutuhan mendesak, mulai dari pengobatan, pencegahan stunting, bantuan seragam sekolah, dukungan UMKM, hingga kegiatan sosial-keagamaan.
“Setiap harinya kami menerima sekali banyak permohonan bantuan dari warga masyarakat. Aspirasi yang disampaikan kepada kami dan harus kami penuhi, yang sebetulnya itu nggak ada anggarannya,” ungkap Edwin.
Aspirasi Warga dan Agenda Reses
Selain persoalan tunjangan, Edwin menekankan pentingnya peran reses sebagai sarana anggota dewan menyerap aspirasi masyarakat. Ia menjelaskan, setiap anggota DPRD wajib melaksanakan reses tiga kali dalam setahun, dengan enam kali pertemuan di masing-masing daerah pemilihan.
Menurut Edwin, agenda reses ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, terutama untuk transportasi masyarakat yang tidak tercakup dalam pos anggaran resmi. “Saat reses banyak permintaan dari masyarakat. Namun, alhamdulilah dengan segala keterbatasan yang ada kami masih dapat memenuhi permintaan dari warga yang ada di dapil masing-masing anggota dewan,” ucapnya.
Pernyataan Edwin juga mendapat pengakuan dari masyarakat. Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Bandung Kidul, Al Rizky Huda, menilai keberadaan anggota dewan sangat membantu warganya. Ia menyebut Edwin sebagai contoh legislator yang rutin menindaklanjuti aspirasi, khususnya di Dapil 4 yang meliputi Bandung Kidul, Buahbatu, Rancasari, Gedebage, Panyileukan, dan Cinambo.
“Hampir 98 persen reses yang dilaksanakan oleh Pak Haji Edwin itu diserap dan memang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi warga,” tuturnya.
DPRD Kota, Ujung Tombak di Akar Rumput
Al Rizky menambahkan, masyarakat lebih merasakan kinerja anggota DPRD kota atau kabupaten karena langsung bersentuhan dengan persoalan di akar rumput. Ia menegaskan hal ini tidak berarti menafikan kinerja dewan provinsi maupun DPR RI, namun kehadiran legislator kota terasa lebih nyata bagi warga sehari-hari.
“Bukan berarti dewan provinsi atau DPR RI tidak bekerja atau menafikan kinerja mereka, tapi yang langsung menyentuh masyarakat di akar rumput adalah para anggota dewan kota ataupun kabupaten,” pungkasnya.(Red)