JABARNEWS | JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menolak keras rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Koalisi tersebut menilai Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut karena rekam jejak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), praktik korupsi, dan represi terhadap kebebasan pers selama masa Orde Baru.
Mengingat fakta sejarah dan dasar hukum yang ada, AJI dan GEMAS menyampaikan lima sikap tegas dalam rilis resmi pada Jum’at (7/11/2025), yaitu:
- Menolak keras usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Upaya ini merupakan bentuk pemutarbalikan sejarah dan penghinaan terhadap perjuangan reformasi, demokrasi, kebebasan pers, dan kebebasan berekspresi. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus luka bangsa dan mengkhianati hak dasar rakyat untuk berekspresi bebas.
- Mendesak Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk menolak dan menghentikan proses pengusulan nama Soeharto kepada Presiden Republik Indonesia, dengan mempertimbangkan rekam jejak buruknya terhadap demokrasi, HAM, dan kebebasan berekspresi, serta karena langkah tersebut tidak hanya mengkhianati cita-cita reformasi dan rasa keadilan di masyarakat, tetapi juga bentuk manipulasi sejarah dan hukum.
- Mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menolak dan menghentikan proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, serta memastikan negara berpihak pada nilai reformasi dan supremasi hukum, bukan pada pelaku pelanggaran HAM.
- Menuntut negara untuk menjamin pemulihan hak korban pelanggaran HAM dan represi kebebasan pers di masa Orde Baru, termasuk memastikan akuntabilitas hukum bagi pelaku yang masih hidup.
- Mengajak masyarakat sipil, jurnalis, akademisi, dan generasi muda untuk tidak berhenti bersuara menolak manipulasi sejarah dan menegakkan kembali semangat reformasi yang memperjuangkan demokrasi, HAM, dan kebebasan berekspresi.
Selama lebih dari tiga dekade, rezim Orde Baru di bawah Soeharto dinilai menjadi simbol pembungkaman kebebasan berekspresi di Indonesia.
Dengan dalih menjaga stabilitas nasional, pemerintah menekan media, membungkam kritik, dan mengkriminalisasi suara berbeda.
Pers dijadikan alat legitimasi kekuasaan, sementara jurnalis, seniman, dan aktivis dipaksa diam lewat ancaman, sensor, hingga kekerasan.
Menurut AJI dan GEMAS dalam rilisnya, awal kekuasaan Soeharto ditandai oleh gelombang pembunuhan massal pasca 1965 yang menelan jutaan korban jiwa.
Sejak saat itu, kekerasan negara menjadi instrumen rutin dalam mengatur masyarakat. Setiap bentuk perbedaan pendapat, dianggap sebagai ancaman terhadap “ketertiban”.
Orde Baru menciptakan regulasi represif yang menundukkan warga negara di bawah doktrin pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.
Kebebasan Pers
Di ranah media, pembungkaman dilakukan secara sistematis. Pers diwajibkan tunduk pada kontrol Departemen Penerangan, melalui instrumen seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang sewaktu-waktu dapat dicabut bila pemberitaan dianggap “mengganggu stabilitas nasional”.





