Sekolah juga disebut memiliki tanggung jawab yang sama. KDM menyebut pihaknya telah menerapkan larangan membawa gawai untuk tingkat SMP. Namun, kenyataannya masih ada siswa yang tetap membawa karena diberi izin oleh orang tuanya.
“Kami sudah melarang untuk SMP, tapi di lapangan masih membawa karena orang tua memberi. Jadi kami tidak bisa intervensi terlalu personal,” katanya.
KDM mengingatkan bahwa gawai bukan satu-satunya faktor yang membuat anak rentan direkrut jaringan terorisme. Ia mencontohkan kasus di SMA 72 Jakarta, di mana korban perundungan membuat bom sebagai bentuk pelampiasan. Menurutnya, bullying juga menjadi pintu masuk radikalisasi.
“Kasus yang Jakarta di SMA 72, anak yang menjadi korban bully bikin bom,” ujarnya.
Sebelumnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menyampaikan bahwa pada tahun 2025 terdapat sekitar 110 anak yang teridentifikasi terekrut jaringan terorisme di 23 provinsi. Dari jumlah itu, Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka tertinggi, disusul DKI Jakarta. (Red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News





