JABARNEWS | BANDUNG – Alih-alih menegakkan marwah keadilan, ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Senin (27/10/2025), justru menjadi panggung bagi arogansi kekuasaan. Ketua Majelis Hakim Lingga Setiawan, S.H., M.H., yang segera dilantik sebagai Ketua PN Bandung, memilih mengusir para wartawan yang hendak meliput jalannya sidang perkara kekerasan seksual dengan terdakwa Priguna Anugerah Pratama (PAP), eks dokter residen Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Tindakan itu sontak memicu sorotan tajam dari kalangan jurnalis dan publik yang menilai, ada ketidakharmonisan antara semangat keterbukaan hukum dan praktik di lapangan.
Etika Komunikasi yang Tercederai
Sedianya sidang di Ruang Utama PN Bandung itu digelar untuk agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, belum sempat agenda dimulai, suasana memanas ketika Ketua Majelis Hakim memerintahkan para jurnalis untuk keluar dari ruang sidang tanpa penjelasan.
Beberapa wartawan yang hadir menilai sikap tersebut tidak hanya tidak elegan, tetapi juga mencederai etika komunikasi publik.
“Seharusnya bisa disampaikan dengan cara yang lebih elegan, misalnya dengan penjelasan: ‘Rekan-rekan wartawan mohon maaf, sidang ini dinyatakan tertutup untuk umum.’ Tapi ini langsung diusir begitu saja tanpa basa-basi,” ujar salah seorang wartawan yang hendak meliput sidang tersebut.
Nada kecewa juga terdengar dari jurnalis lain yang mengingatkan bahwa dalam beberapa kasus asusila, wartawan biasanya masih diberikan kesempatan mengambil gambar sebelum diminta keluar untuk menjaga asas keterbukaan informasi.
“Sangat disayangkan, kita juga paham kalau sidang kasus asusila tertutup. Tapi ada beberapa sidang, kalau terdakwanya orang dewasa, saat pembacaan tuntutan wartawan diberikan kesempatan mengambil gambar, baru diminta keluar,” ujar mereka.
Insiden ini, sekali lagi, menunjukkan betapa jarak antara hukum dan publik masih lebar, bahkan di era ketika transparansi seharusnya menjadi pilar utama keadilan.
Kebebasan Pers Bukan Ancaman, Melainkan Penjaga Demokrasi
Menanggapi pengusiran tersebut, Ketua Jurnalis Hukum Bandung (JHB), Suyono, angkat bicara dengan nada tegas. Ia menilai, tindakan hakim tidak mencerminkan sikap seorang pemimpin lembaga peradilan yang seharusnya mengayomi dan memahami etika komunikasi publik.
“Wartawan juga punya hak untuk meliput peristiwa hukum, termasuk persidangan,” ujarnya.
Menurut Suyono, meski majelis hakim memiliki kewenangan menutup sidang bagi umum, penyampaian larangan seharusnya dilakukan dengan cara yang beradab, bukan dengan pengusiran yang terkesan kasar.
“Kita menghormati proses hukum. Jika majelis hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum, kita sebagai wartawan mengerti dan akan keluar dari ruang sidang. Tapi kami juga berharap aparat pengadilan menghormati kerja jurnalistik,” tegasnya.
Dalam konteks politik hukum, peristiwa ini memperlihatkan bagaimana kebebasan pers kerap diperlakukan sebagai gangguan, bukan mitra transparansi. Padahal, di tengah meningkatnya kasus kekerasan seksual, publik berhak mengetahui bagaimana keadilan ditegakkan. Menutup ruang informasi sama artinya dengan menutup ruang kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Tuntutan 11 Tahun dan Restitusi untuk Korban
Ironisnya, di balik insiden yang mencoreng citra pengadilan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akhirnya berhasil membacakan tuntutan terhadap terdakwa dr. Priguna Anugerah Pratama setelah dua kali penundaan.
Sebelumnya, sidang dengan agenda pembacaan tuntutan sempat ditunda pada Selasa (21/10/2025) karena surat tuntutan belum rampung.
Menurut Kasi Penkum Kejati Jabar, Nur Cahyawijaya, S.H., tuntutan pidana terhadap terdakwa dibacakan dengan rincian sebagai berikut:
Pidana pokok: penjara selama 11 tahun, dikurangi masa tahanan, serta denda Rp100 juta, subsider 6 bulan penjara.
Pidana tambahan: pembayaran restitusi Rp137.879.000 kepada tiga korban berdasarkan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Adapun rinciannya:
- Korban FH: Rp79.429.000
- Korban NK: Rp49.810.000
- Korban FPA: Rp8.640.000
Apabila restitusi tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama enam bulan.
Dalam pertimbangan hukumnya, jaksa menegaskan sejumlah hal yang memberatkan, di antaranya:
- Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat,
- Merusak kehormatan dan masa depan korban,
- Menimbulkan trauma psikologis mendalam, dan
Bahwa terdakwa adalah seorang dokter yang seharusnya melindungi pasien, bukan mencederai kepercayaannya.
Namun, jaksa juga mencatat beberapa hal yang meringankan, yakni terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya, telah melakukan perdamaian dengan salah satu korban dengan memberikan santunan Rp200 juta, serta belum pernah dihukum sebelumnya.
Ujian Integritas Hukum di Lingkungan Medis
Kasus dugaan pemerkosaan yang menyeret nama Priguna mencuat sejak Maret 2025, memicu kehebohan nasional karena terjadi di lingkungan pendidikan kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) dan rumah sakit rujukan utama, RSUP Hasan Sadikin Bandung.
Peristiwa ini menjadi ujian moral sekaligus integritas aparat hukum dalam menangani perkara kekerasan seksual di lingkungan medis yang selama ini dikenal tertutup dan hierarkis.
Masyarakat kini menunggu, apakah sistem peradilan mampu membuktikan bahwa keadilan tidak tunduk pada status sosial atau jabatan profesi, atau justru kembali menampilkan wajah klasik hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sementara itu, publik berharap pengadilan tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga membuka ruang refleksi bagi dunia medis dan lembaga hukum untuk memperkuat perlindungan terhadap korban serta menjamin ruang aman bagi masyarakat.
Insiden pengusiran wartawan di ruang sidang bukan sekadar persoalan etika, melainkan simbol dari ketegangan abadi antara kekuasaan dan keterbukaan. Dalam negara demokrasi, keadilan tidak cukup ditegakkan di ruang sidang tertutup; ia harus juga dilihat, didengar, dan diawasi oleh publik. Dan di situlah pers berdiri—bukan sebagai lawan, melainkan sebagai saksi moral dari perjalanan hukum bangsa.(Red)





