JABARNEWS | BANDUNG – Kondisi Teras Cihampelas kini memprihatinkan. Ketua Komisi 1 DPRD Kota Bandung, Radea Respati, mendorong dua opsi strategis. Ia meminta pemerintah merevitalisasi kawasan agar kembali berfungsi sebagai ruang publik yang produktif, atau menempuh jalur pemusnahan aset sesuai regulasi jika kawasan itu sudah tidak layak digunakan. Meski kedua solusi tersebut memiliki tantangan masing-masing, Radea menilai hal ini bisa menjadi momentum penting bagi Pemerintah Kota Bandung untuk menunjukkan kepemimpinan yang tangguh dan responsif terhadap keluhan warga.
Gagal Wujudkan Harapan, Teras Cihampelas Terabaikan
Radea menegaskan bahwa pemerintah membangun Teras Cihampelas dengan tujuan mulia. Mereka mendesain kawasan ini sebagai ruang publik untuk mendukung pertumbuhan UMKM dan merelokasi pedagang kaki lima (PKL) demi mengurangi kemacetan. Selain itu, pemerintah juga mengusung konsep Transit Oriented Development (TOD) yang menggabungkan fungsi komersial, rekreasi, dan transportasi dalam satu kawasan terpadu.
Namun, harapan itu tak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp48 miliar untuk membangun proyek ini pada tahun 2017. Sayangnya, proses pengerjaan justru menimbulkan berbagai masalah. Proyek ini memicu kemacetan, menghalangi sinar matahari ke rumah warga sekitar, dan menciptakan ekspektasi tinggi yang tidak terpenuhi. Hingga kini, Teras Cihampelas justru tampak terbengkalai.
“Teras Cihampelas begitu sederhana, tidak terurus, sepi pengunjung, fasilitas pada rusak, kios tutup, menciptakan hujan abadi karena rembesan air,” ujar Radea.
Dua Suara Warga: Bangun Kembali atau Bongkar Saja
Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan yang meliputi kawasan Cihampelas, Radea mengaku menerima banyak keluhan warga. Ia mencatat, aspirasi masyarakat terbagi ke dalam dua suara dominan. Pertama, masyarakat mendesak agar Pemerintah Kota Bandung serius dalam melakukan revitalisasi dan renovasi agar Teras Cihampelas kembali sesuai dengan fungsi awalnya.
Kedua, sebagian warga mendukung saran Gubernur Jawa Barat yang meminta pemerintah membongkar kawasan tersebut dan mengembalikannya seperti semula sebelum pembangunan.
Menanggapi usulan itu, Radea menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh sembarangan membongkar aset daerah. Ia menjelaskan bahwa aturan hukum tentang pengelolaan aset daerah mengharuskan pemerintah mengikuti mekanisme pembongkaran yang sudah ditetapkan.
Mengacu Regulasi: Pemusnahan Aset Harus Prosedural
Radea menilai bahwa pembongkaran aset seperti Teras Cihampelas bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga melibatkan aturan hukum yang ketat. Ia merujuk pada Permendagri No. 7 Tahun 2024, yang merevisi Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Aturan tersebut menyatakan bahwa pemerintah bisa memusnahkan aset daerah jika aset tersebut tidak dapat dimanfaatkan, tidak bisa dipindahtangankan, atau tidak layak digunakan.
“Barang milik daerah dapat dimusnahkan dengan alasan tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan/atau tidak dapat dipindahtangankan; atau terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Dalam prosedurnya, institusi teknis sebagai pengguna barang harus mengajukan usulan pemusnahan kepada Wali Kota selaku pemegang kekuasaan atas pengelolaan barang milik daerah. Setelah menerima usulan tersebut, Sekretaris Daerah dan Kepala BKAD memberikan pertimbangan teknis. Jika Wali Kota menyetujui, maka institusi terkait akan melakukan pemusnahan menggunakan metode yang telah ditentukan, seperti penghancuran atau penimbunan. Setelah proses pemusnahan selesai, pemerintah akan mencoret barang tersebut dari daftar aset daerah melalui mekanisme penghapusan resmi.
Rekomendasi Solutif: Pemerintah Harus Tegas dan Cermat
Di akhir pernyataannya, Radea menyampaikan dua rekomendasi yang menurutnya bisa menjadi jalan keluar konkret. Pertama, Pemerintah Kota Bandung harus berani mengambil langkah serius dalam merevitalisasi Teras Cihampelas, termasuk mengatasi tantangan awal yang berdampak besar pada kondisi saat ini. Ia mendorong pemerintah agar memaksimalkan kinerja organisasi perangkat daerah (OPD) dan menggandeng pihak ketiga jika diperlukan.
Kedua, apabila revitalisasi tidak memungkinkan secara teknis maupun ekonomis, maka pemerintah harus menempuh jalur pemusnahan dan penghapusan aset dengan mengikuti seluruh ketentuan yang berlaku. Langkah ini harus dilakukan secara hati-hati, teliti, dan penuh pertimbangan.
“Kedua rekomendasi tadi tentu selalu mempunyai risiko, namun apabila Wali Kota dan pemerintahan berhasil memberikan solusi maka itu akan sangat membuktikan kepiawaian dan realisasi spirit Bandung Utama. Masyarakat akan senang sekali. Saya yakin itu,” pungkas Radea dengan optimis.(Red)