JABARNEWS | BANDUNG – Suara alam di Kebon Binatang Bandung (KBB) kini nyaris redup. Di balik kandang-kandang besi, 710 satwa dari berbagai jenis menatap hari-hari panjang tanpa kepastian pakan. Sejak pintu KBB dikunci rapat oleh Pemkot Bandung pada 6 Agustus 2025, kehidupan di dalamnya perlahan berubah menjadi perjuangan sunyi—antara bertahan hidup atau menunggu kelaparan.
Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), pengelola resmi kebun binatang tertua di Jawa Barat itu, kini berjuang sendirian. Mereka tetap harus memberi makan semua satwa, meski tak ada satu pun pengunjung yang datang. Setiap bulan, YMT mengeluarkan Rp415 juta hanya untuk pakan. Angka itu bukan sekadar nominal, tapi napas kehidupan bagi ratusan hewan yang bergantung pada manusia.
“Kami tidak tahu apakah bulan depan masih bisa memberi pakan satwa,” ujar Sulhan Syafii, Humas YMT, dengan suara berat.

Biaya Mencekik, Pintu Pendapatan Tertutup
Sejak penutupan dilakukan, tidak ada pemasukan sama sekali. Tiket berhenti dijual, warung kecil di dalam area pun tutup. Sementara kewajiban YMT tetap menumpuk dari hari ke hari.
“Belum lagi, kami harus tetap membayar gaji karyawan 140 orang yang praktis dirumahkan sementara waktu. Mereka semua masih dibayar penuh. Itu di luar biaya obat-obatan satwa, listrik, dan lainnya,” ungkap Sulhan.
YMT memilih tetap menggaji penuh seluruh pegawainya. Keputusan itu lahir dari nurani. “Mereka bagian dari keluarga besar Bandung Zoo. Kami tidak tega jika mereka ikut kehilangan harapan seperti satwa di sini,” katanya.
Namun realitas tak bisa ditunda. Tabungan lembaga mulai menipis, sedangkan biaya hidup satwa terus berjalan.
Janji Bantuan yang Tak Pernah Datang
Harapan sempat muncul ketika beredar kabar bahwa Pemkot Bandung akan mengalokasikan dana bantuan. Rencananya, dana hibah sebesar Rp5 miliar akan diberikan untuk kebutuhan pakan dan perawatan satwa. Namun, seperti oasis yang menguap di tengah gurun, bantuan itu tak pernah datang.
“Sampai hari ini, biaya pemberian pakan satwa di KBB tidak pernah ada dari Pemkot Bandung. Tetapi kami yang selalu mengeluarkan biaya untuk itu. Meski informasi awal kami mendengar ada rencana pemkot,” jelas Sulhan.
Informasi yang diterima YMT, rencana hibah tersebut akhirnya tidak disetujui DPRD Kota Bandung. Alasannya, kemampuan keuangan Pemkot tengah terbatas. Akibatnya, YMT harus tetap bertahan dengan dana yang semakin menipis dari kas sendiri.

Di Balik Jeruji, Satwa Menunggu
Waktu terus berjalan. Pagi dan sore menjadi dua momen yang paling menegangkan di Bandung Zoo—waktu di mana semua satwa menanti makanan. Jadwal pemberian pakan harus tetap rutin, karena jeda sedikit saja bisa berakibat fatal.
YMT mencatat ada 13 ekor satwa karnivora yang setiap hari membutuhkan 6 kilogram daging sapi per ekor. Artinya, total 78 kilogram daging harus disiapkan setiap hari, belum termasuk pakan satwa herbivora dan aves (unggas).
“Penutupan KBB sama saja mengancam kelangsungan hidup satwa-satwa yang ada di sana. Ini dapat membunuh perlahan satwa di KBB. Karena kami di YMT juga memiliki dana terbatas,” tegas Sulhan.
Aroma daging yang dulu memenuhi dapur pakan kini makin jarang tercium. Sebagian porsi terpaksa dikurangi agar stok bertahan lebih lama. Namun di mata satwa yang lapar, waktu seolah berhenti.
Kritik dan Seruan dari Pecinta Satwa
Kisah kelam Bandung Zoo menggugah banyak hati. Di antara yang bersuara lantang adalah Komjen (Purn) Pol Drs. Oegroseno SH, Direktur Eksekutif Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI). Ia kecewa pada pihak-pihak yang lebih sibuk memperdebatkan sengketa manajemen dan lahan, ketimbang menyelamatkan nyawa satwa.
“Harusnya tuntut dan gugat Kemenhut atas pembiaran dan abai terhadap satwa milik negara yang dilindungi,” tegas Oegroseno.
Ia juga menyesalkan sikap Menteri Kehutanan yang dianggap tutup mata dan telinga atas penutupan ini. “Jangan sampai rakyat marah,” ujarnya.
Senada, Singky Soewadji, Koordinator APECSI, menyerukan agar Bandung Zoo segera dibuka kembali tanpa syarat. Menurutnya, tindakan penutupan justru melanggar asas kesejahteraan dan keselamatan satwa yang dilindungi.
“Penutupan Bandung Zoo menunjukkan pemerintah abai. Nasib satwa dilindungi dipertaruhkan,” kata Singky.
Ia menegaskan, jika akibat penutupan ini ada satwa yang mati, maka pihak terkait bisa dipidana sesuai UU No.5 Tahun 1990 dan UU No.32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Warisan Konservasi yang Terlupakan
Bandung Zoo bukan lembaga biasa. Berdiri sejak 1933, lembaga ini awalnya bernama Bandoeng Zoological Park. Pada tahun 2003, kebun binatang ini resmi mendapatkan izin sebagai Lembaga Konservasi Ex-Situ dari Menteri Kehutanan melalui SK No. 357/Kpts-II/2003, dengan masa berlaku hingga 2033.
Tahun 2011, KBB bahkan meraih Predikat B dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Namun semua capaian itu kini seolah memudar di balik pagar yang tertutup.
Menurut APECSI, penutupan KBB dilakukan oleh instansi yang tidak memiliki kewenangan. Padahal sesuai aturan, lembaga konservasi berada di bawah koordinasi Kementerian Kehutanan melalui Ditjen KSDAE.
Menjaga Napas Terakhir
Kini, perjuangan YMT bukan lagi sekadar mengelola kebun binatang. Mereka sedang menjaga kehidupan—napas terakhir dari ratusan makhluk yang tak bisa bersuara.
Setiap hari, para perawat satwa berjalan di antara kandang dengan hati cemas. Mereka memberi makan seadanya, menyapa setiap penghuni dengan kelembutan yang tersisa. Di balik mata para satwa, tersimpan harap: agar gerbang Bandung Zoo kembali terbuka, dan kehidupan bisa berjalan seperti dulu.(Red)