
Program pemerintah SBY hingga Jokowi – MIFEE – di Kalimantan dan Papua sinyalir mengubah ekosistem kehidupan masyarakat Papua dari berladang menjadi tanam padi, tebu, serta hubungan social masyarakatnya. Perubahan ekosistem (pencaharian masyarakat) Papua juga menggeser aspek sosial masyarakat Papua di daerah Merauke, yaitu suku Marind, dan suku Awyu – atau Awya adalah kelompok etnis yang mendiami daerah aliran Sungai Digul di Pesisir Papua Selatan di wilayah Kabupaten Mappi – serta suku Mandobo.
Proyek korporasi itu mengedepankan kepentingan untuk mengejar standar pertumbuhan ekonomi yang kemudian mengubah ritme hidup masyarakat terdampak. Fenomena itulah yang dilihat oleh Mella Jaarsma sebagai konteks dan konten karya seni pada pameran tunggalnya kali ini di Lawangwangi Creative Space.
Pameran tunggal “Tiga Pasang Tangan” dari Mella Jaarma menyajikan karya Instalasi seni, kostum, lukisan di atas kanvas dan kertas, fotografi, video seni, serta performance art di atas material karya dalam konteks persoalan politik pangan di Papua.
Usai pembukaan pameran “Tiga Pasang Tangan” Mella Jaarsma menyuguhkan performance art di atas selimut besar yang dibuat dari bahan kayu Lantung yang dijahit membentuk pola tanam dan kalender Jawa menggunakan tempurung kelapa yang jadi metaforma konversi lahan pertanian sagu – ciri khas pertanian tradisional masyarakat Papua – jadi tanaman padi, dengan karya berjudul “Blanket Talks/Selimut Bicara #1” di ruang galeri mulai pukul 19.00 WIB (berlangsung selama 60 menit) diperankan oleh Zuhdi Sang (peneliti, seniman), Idha Saraswati (peneliti digital farming), Gispa Ferdinanda (peneliti).
Performance art tersebut menyajikan gerakan tiga subjek yang berdialog representasi data dari para peneliti mengenai program nasional pemerintah, yaitu MIFEE. Material “Selimut Bicara #1” terbuat dari kayu Lantung yang tumbuh di pesisir barat pulau Sumatera. Salah satu produk kerajinan lokal masyarakat Bengkulu dan Palu, Sulawesi Tengah.
Mella Jaarsma menjelaskan bahwa pameran tunggal “Tiga Pasang Tangan” di Lawangwangi Creative Space dimulai dari riset soal isu pangan di Indonesia. “Banyak masalah soal dasar kehidupan manusia, siklus alam, perubahan kampung. Ada pertanyaan apakah sebagai seniman masih urgent memproduksi karya seni? Bagaimana seni berkontribusi pada persoalan itu dengan menyuarakannya pada karya seni? Pada karya “Selimut Bicara #1” itu aku ingin publik bisa secara langsung berbicara pada karya ketimbang publik menginterpretasi terhadap karya saya. Orang bisa mendengar cerita orang lain secara langsung dalam pameran ini,” kata Mella Jaarsma di Lawangwangi Creative Space, Bandung Barat, Jumat (10/5/2024) sore.