Daerah

Mulai 2026, Hakim Diberi Ruang Pemaafan: Babak Baru Hukum Pidana Indonesia yang Lebih Humanis

×

Mulai 2026, Hakim Diberi Ruang Pemaafan: Babak Baru Hukum Pidana Indonesia yang Lebih Humanis

Sebarkan artikel ini
Mulai 2026, Hakim Diberi Ruang Pemaafan: Babak Baru Hukum Pidana Indonesia yang Lebih Humanis
Prof. Dr. Syahlan menjelaskan ruang pemaafan hakim dalam KUHP Nasional yang mulai berlaku Januari 2026

 

JABARNEWS | BANDUNG  – Mulai Januari 2026, wajah hukum pidana Indonesia akan memasuki babak baru. Hadirnya KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) bukan sekadar mengganti aturan lama. Hal ini juga menghadirkan nafas segar, karena hakim kini diberi ruang untuk lebih manusiawi dalam menjatuhkan putusan. Tidak semua kesalahan harus ditebus dengan penjara; ada ruang pemaafan yang membuka jalan bagi keadilan yang lebih bijak, melihat manusia bukan hanya dari kesalahannya, tetapi juga dari latar belakang dan sisi kemanusiaannya.

Pemaafan Hakim: Jalan Baru yang Lebih Humanis

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bandung, Prof. Dr. Syahlan, SH., MH., menegaskan bahwa hadirnya pasal pemaafan atau rechterlijke pardon dalam KUHP baru merupakan terobosan penting. Menurutnya, “tidak semua perkara harus berakhir di penjara. Unsur humanis juga harus dikedepankan.”

Ia mencontohkan kasus-kasus rumah tangga atau peristiwa sederhana seperti nenek yang mencuri kayu dan cokelat. Dalam situasi tersebut, hakim diberi ruang untuk mempertimbangkan motif, latar belakang, serta dampak hukuman.

“UU ini memanusiakan manusia,” tegasnya saat ditemui Selasa (23/9/2023).

Baca Juga:  Kejari Purwakarta Bebaskan Pencuri Motor, Kok Bisa? Ternyata Ini Alasannya

Hakim Lebih Bebas, Namun Tetap Bertanggung Jawab

Pasal 54 KUHP Nasional menjelaskan bahwa hakim dapat memutus perkara tanpa menjatuhkan pidana penjara. Pertimbangan itu mencakup bentuk kesalahan pelaku, motif dan tujuan, sikap batin, hingga dampak pidana terhadap masa depan terdakwa dan korban.

Prof. Syahlan menyebut, “hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tidak hanya berpegang pada asas legalitas semata.” Dengan demikian, hukum adat (living law) pun bisa diintegrasikan demi menghadirkan rasa keadilan yang lebih kontekstual.

Namun, ia juga mengingatkan adanya tantangan serius. “Kalau tidak disosialisasikan, masyarakat bisa salah paham. Publik bisa saja menilai hakim seolah-olah memaafkan begitu saja terdakwa. Padahal semangatnya adalah keadilan yang lebih manusiawi,” ungkapnya.

Restorative Justice sebagai Pondasi Baru

Lebih jauh, Prof. Syahlan menekankan pentingnya Restorative Justice (RJ) dalam paradigma hukum baru. Menurutnya, RJ menjadi jalan terbaik untuk melindungi tiga kepentingan sekaligus: terdakwa, keluarga, dan masyarakat. Ia mencontohkan kasus tabrakan akibat balapan liar, di mana dialog antara korban dan pelaku bisa menghasilkan keadilan yang lebih bermakna dibanding sekadar hukuman penjara.

Baca Juga:  Deklarasi UKO: Dari Inovator Ke Pilkada, ‘Memang Bukan Calon Wali Kota Biasa!

“Penyelesaian terbaik itu RJ antara korban dan pelaku. Humanisme harus ditonjolkan,” ucapnya. Meski begitu, ia menegaskan RJ tidak bisa diterapkan untuk semua tindak pidana, apalagi tindak pidana khusus seperti korupsi yang memiliki ancaman berat.

Tantangan dan Harapan: Keadilan di Atas Kepastian

Penerapan pemaafan hakim dan RJ tentu bukan tanpa risiko. Ada kekhawatiran dari kalangan hukum positivis bahwa pasal ini bisa dijadikan “bahan dagangan”. Meski begitu, Prof. Syahlan optimistis. “Para hakim memang diberi kebebasan, tapi kebebasan yang bertanggung jawab,” jelasnya.

Ia juga menegaskan, bila kepastian hukum berbenturan dengan keadilan, maka keadilanlah yang harus diutamakan. Prinsip ini, menurutnya, sejalan dengan Pasal 28 UUD 1945 dan Pancasila yang menjunjung tinggi keadilan sosial.

Pada akhirnya, UU No. 1 Tahun 2023 tidak hanya menawarkan aturan baru, tetapi juga menghadirkan paradigma baru. Paradigma yang menempatkan manusia di atas hukum formal, memberi ruang pemaafan, dan membuka jalan bagi lahirnya keadilan yang lebih membumi.

Baca Juga:  Yayasan Hade Rancage Citalaga Gelar Penguatan Moderasi Beragama di Purwakarta

Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan Hakim (Pasal 54 KUHP Nasional)

1. Bentuk kesalahan pelaku.

2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.

3. Sikap batin pelaku.

4. Dilakukan terencana atau tidak.

5. Cara melakukan tindak pidana.

6. Sikap pelaku setelah perbuatan.

7. Riwayat hidup, kondisi sosial, dan ekonomi pelaku.

8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku.

9. Dampak tindak pidana terhadap korban dan keluarganya.

10. Pemaafan dari korban atau keluarganya.

11. Nilai hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat.

 

Ruang Lingkup & Batasan Pemaafan Hakim

1. Tidak berlaku untuk semua kasus – misalnya tindak pidana korupsi (Tipikor) tidak bisa diberi pemaafan.

2. Fokus pada perkara ringan – misalnya kasus nenek mencuri kayu untuk memasak.

3. Restorative Justice (RJ) menjadi dasar – penyelesaian dengan mempertemukan pelaku dan korban.

4. Tiga kepentingan dilindungi dalam RJ: terdakwa, keluarga, dan masyarakat.