Sementara itu, Mariam Sofrina memilih lanskap kota di Austria dan Jerman sebagai medan estetiknya. Beberapa di antaranya menyimpan sejarah kelam, khususnya terkait peristiwa pembantaian etnis Yahudi. Melalui kalkulasi warna berlapis, Mariam mengejar ketepatan optis dan afeksi psikologis dalam lukisan, menjadikannya refleksi personal atas sejarah dan ruang.
“Pameran ini adalah fase penting dalam karier saya. Saya terobsesi dengan detail teknik klasik dan bagaimana kehadiran lanskap bisa menjadi jendela bawah sadar saya,” tutur Mariam.
Kurator Asmudjo J. Irianto menjelaskan bahwa fotorealisme bukan hanya sekadar meniru visual secara akurat, tetapi juga menghidupkan kembali metode klasik yang pernah tenggelam dalam sejarah seni lukis Eropa. Dengan menekankan reduksi, afeksi, dan eksplorasi mendalam terhadap media, fotorealisme versi Guntur dan Mariam menjadi narasi ontologis tentang eksistensi manusia modern.
Kedua seniman juga melakukan live painting selama pembukaan pameran hingga lukisan mereka selesai, membuka ruang edukatif bagi publik untuk menyaksikan langsung proses melukis fotorealis yang membutuhkan ketekunan, waktu, dan kepekaan mendalam.
“Lukisan-lukisan mereka bukan sekadar representasi visual, tapi ruang refleksi yang menyimpan jejak waktu dan intensi tubuh. Pameran ini adalah perlawanan lembut terhadap disorientasi zaman digital,” pungkas Asmudjo. (Red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News