Ia juga mempertanyakan kontradiksi tujuan proyek. Menurut Asto, bupati menyebut sebagai pusat gizi, sedangkan dinas terkait menyatakan fokus hibah dan pelatihan. “Kalau untuk edukasi, biayanya terlalu mahal. Kalau untuk produksi, skalanya terlalu kecil. Jadi, tujuannya apa sebenarnya,” katanya.
Asto menilai proyek ini berpotensi bernasib sama dengan proyek serupa di daerah lain yang berujung mangkrak, seperti RPH Bojonegoro Rp8 miliar yang tak berfungsi, pasar ternak Sumenep Rp3,5 miliar yang sepi, hingga food estate singkong di Kalimantan Tengah yang gagal panen.
“Polanya sama, anggaran habis untuk infrastruktur, manajemen lemah, manfaat publik minim. Campaka bisa mengulang kesalahan itu,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalih program nasional tidak bisa menutupi kelemahan mendasar. “Ketahanan pangan butuh skala besar, koperasi peternak, dan rantai pasok kuat, bukan sekadar proyek simbolis,” ujarnya.
Asto menekankan kritik yang disampaikan bersifat konstruktif agar DPRD dan masyarakat ikut mengawasi. “Karena pembangunan sejati harus berpihak pada rakyat, bukan pada panggung seremonial,” pungkasnya.