JABARNEWS | BANDUNG – Tiga direktur dari perusahaan energi dan kontraktor akhirnya harus merasakan dinginnya jeruji besi. Kejaksaan Negeri Kota Bandung menetapkan mereka sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyediaan barang dan jasa antara PT Energi Negeri Mandiri (ENM) dan PT Serba Dinamik Indonesia (SDI). Mereka adalah BT, NW, dan RAP, yang kini resmi mendekam di Rutan Kebon Waru selama 20 hari ke depan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.
Kasus ini menyeret kerugian fantastis sebesar Rp 86,29 miliar, dari total nilai proyek yang mencapai Rp 250 miliar pada tahun 2022–2023. Proyek yang seharusnya menjadi peluang bisnis strategis ini, justru menjadi ladang pelanggaran hukum melalui kerja sama gelap yang berjalan tanpa izin dan di luar batas ketentuan kontrak.
Surat Restu Tanpa Dasar, Proyek Jalan Terus
Investigasi kejaksaan mengungkap, BT yang menjabat sebagai Direktur PT Migas Utama Jabar (MUJ) periode 2015 hingga 2023, diduga membuka pintu proyek dengan cara menerbitkan Surat Tidak Berkeberatan (Non Objection Letter). Surat bernomor 2000.E/NOL/DIR/MUJ/VII/2022 tertanggal 15 Juli 2022 itu menjadi dasar kerja sama antara ENM dan SDI.
Sebagai informasi, PT Migas Utama Jabar merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang bergerak di sektor energi dan migas. Artinya, setiap keputusan strategis perusahaan semestinya dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang akuntabel.
Namun dalam kasus ini, BT justru menerbitkan surat persetujuan proyek tanpa memperhatikan kajian analisa bisnis dalam Project Summary. Padahal, dokumen itu telah menunjukkan bahwa proyek belum matang secara finansial dan teknis. Dugaan lainnya, ia juga mengabaikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang seharusnya menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.
Subkon Diam-diam, Porsi Proyek Melewati Batas
Dalam kasus ini, para pelaku menjalankan modus utama dengan menyubkontrakkan pekerjaan tanpa sepengetahuan pemilik proyek utama, yaitu anak perusahaan dari PT Pertamina. Mereka mengalihkan pekerjaan secara diam-diam ke pihak lain, bahkan memberikan porsi lebih dari 50%, yang secara terang-terangan melanggar batas maksimal dalam aturan pengadaan jasa konstruksi.
NW, Direktur PT Serba Dinamik Indonesia, bersama RAP, Direktur PT Energi Negeri Mandiri, ada dugaan menyusun skema subkontrak gelap ini secara bersama-sama. NW memberikan pekerjaan melebihi batas kepada RAP, sementara RAP menerima proyek tersebut tanpa izin dan tanpa melapor. Keduanya melanggar ketentuan porsi kerja dan mengabaikan kewajiban untuk meminta persetujuan dari pemilik kontrak utama.
Tak Hanya Ilegal, Pembayaran Pun Diblokir
Lebih lanjut, NW diduga sengaja tidak meneruskan pembayaran dari anak perusahaan Pertamina ke PT ENM, padahal proyek telah dikerjakan. Akibatnya, PT ENM mengalami kerugian langsung sebesar Rp 86.293.231.368.
Padahal dalam kerja sama proyek senilai Rp 250 miliar tersebut, PT ENM seharusnya menerima hak pembayarannya. Namun karena prosesnya tidak transparan dan tidak sesuai ketentuan, pembayaran akhirnya terhenti di tengah jalan.
Rekomendasi Ditinggalkan, Risiko Dipeluk
RAP selaku Direktur PT ENM juga tidak melaksanakan rekomendasi dalam Project Summary, yang secara jelas menyarankan agar ENM melakukan penilaian risiko lebih dalam serta menerapkan mitigasi secara menyeluruh sebelum menerima proyek. Sayangnya, rekomendasi ini diabaikan begitu saja. ENM pun masuk ke proyek berisiko tinggi tanpa persiapan yang memadai, dan akhirnya menelan kerugian besar.
Kejari Tegas: Tak Ada Ampun untuk Penyalahgunaan Kewenangan
Menanggapi skandal ini, Kejaksaan Negeri Kota Bandung melalui Bidang Tindak Pidana Khusus langsung mengambil langkah cepat dan tegas. Ketiga tersangka langsung ditahan di Rutan Kebon Waru Bandung untuk mencegah hilangnya barang bukti dan menghindari potensi intervensi terhadap saksi-saksi penting.
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bandung, Irfan Wibowo, SH., MH., menegaskan bahwa pihaknya akan bersikap profesional dan transparan dalam menuntaskan kasus ini.
“Kasus ini bukan hanya soal kerugian keuangan negara, tetapi menyangkut pelanggaran serius terhadap etika dan tata kelola perusahaan. Kami akan pastikan setiap pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya,” tegas Irfan.
Ia juga menyebut bahwa nilai kerugian negara masih dalam proses audit.
“Kami telah menunjuk auditor keuangan negara untuk menghitung secara resmi besarnya kerugian. Sementara itu, penyidik terus mengembangkan bukti-bukti dan tidak menutup kemungkinan adanya pihak lain yang ikut terlibat,” lanjutnya.
Sinyal Bahaya bagi Dunia Usaha
Kasus ini menjadi sinyal keras bagi semua pelaku usaha dan BUMD agar tidak mempermainkan proses kerja sama bisnis dengan jalan pintas. Memasukkan proyek bernilai ratusan miliar rupiah ke jalur yang tidak sah, tidak hanya berisiko secara keuangan, tetapi juga bisa berujung ke meja hijau.
Saat proyek dijalankan tanpa izin, tanpa batas, dan tanpa tanggung jawab, yang muncul bukanlah kemajuan, melainkan kehancuran. Kini, giliran hukum yang meluruskan arah.(Red)