JABARNEWS | BANDUNG – Jejak sejarah pendidikan itu nyaris terhapus. Di jantung Kota Bandung, SMA Negeri 1 — sekolah legendaris yang telah melahirkan ribuan pemimpin bangsa — kini berada di ujung tanduk. Ancaman alih fungsi lahan membayangi, mengguncang bukan hanya bangunan tua di Jalan Ir. H. Juanda No. 93, tetapi juga nurani para alumni dan rakyat yang peduli pada masa depan pendidikan Indonesia.
Dari keresahan itulah, lahir gelombang solidaritas. Gerakan #SaveSMANSABandung bukan lagi sekadar suara nostalgia. Ia telah menjelma menjadi aksi nyata. Ratusan alumni, pelajar, tokoh masyarakat, hingga komunitas seni turun ke jalan. Mereka bersatu dalam satu tekad: mempertahankan ruang belajar yang bukan sekadar tembok, tetapi fondasi karakter dan martabat bangsa.
Langkah Kecil, Gaung Besar: Parade Solidaritas dari Dago
Pagi itu, Sabtu, 20 Juli 2025, Dago tidak seperti biasanya. Jalanan berubah menjadi lautan semangat. Parade flashmob dan long march dari kawasan Dago memecah keheningan. Barisan pelajar, perwakilan berbagai SMA di Bandung, komunitas Fun Walk, tim Gowes Alumni SMANSA (GAS), dan elemen masyarakat sipil membentuk iring-iringan solidaritas yang menggetarkan hati siapa pun yang melihatnya.
Sesampainya di halaman SMAN 1, para peserta langsung disambut oleh gerakan Zumba bersama. Lalu, suasana berubah haru saat seniman Sunda, Aat Suratin, membuka acara dengan teatrikal “Gerak Merah Putih”. Melalui puisi dan simbol perjuangan, ia menyampaikan pesan kuat: merah putih bukan hanya bendera, tapi nyawa pendidikan yang harus dijaga.
Suara Garda Depan: Alumni, Tokoh, dan Harapan Membara
Aksi damai itu tak hanya menghadirkan massa. Ia juga mempertemukan suara-suara lantang yang selama ini menjadi garda terdepan gerakan. Ceu Popong, anggota DPR lima periode sekaligus tokoh pendidikan dan budaya Jawa Barat, hadir dan menyampaikan orasi penuh semangat.
“Kita tidak sedang bernostalgia. Kita sedang mempertahankan sesuatu yang lebih besar: harga diri pendidikan Indonesia!” seru Ceu Popong, menggugah tepuk tangan meriah dari massa aksi.
Di tengah suasana yang membara, talkshow digelar. Dan Jilal Mardhani memandu diskusi yang menghadirkan Kepala SMAN 1 Bandung, Ketua IKA SMANSA, perwakilan dari Biro Hukum Pemprov Jabar, serta Tim Advokasi Alumni. Mereka memaparkan strategi hukum yang sudah ditempuh dan akan terus dilanjutkan.
Bukan Sekadar Sekolah, Tapi Warisan yang Tak Tergantikan
Roosnelly, Ketua Alumni SMANSA Angkatan 1982, berdiri tegak di hadapan ratusan peserta. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan makna dari seluruh perjuangan ini.
“Aksi ini adalah wujud cinta. Kami tidak ingin kehilangan ruang belajar yang telah membentuk karakter kami. Ini tentang warisan pendidikan, bukan sekadar soal bangunan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menggarisbawahi tiga tuntutan utama alumni:
1. Menolak pemindahan atau alih fungsi lahan SMAN 1 Bandung.
2. Mengawal proses hukum hingga tuntas dan adil.
3. Mendesak pemerintah agar menjamin perlindungan hukum bagi institusi pendidikan negeri di seluruh Indonesia.
Aksi ini pun ditutup dengan konferensi pers yang mempertemukan semua pihak yang selama ini menjadi benteng terakhir perjuangan #SaveSMANSABandung. Di tengah gemuruh semangat, satu pesan bergema kuat: mempertahankan sekolah ini berarti menjaga masa depan bangsa.
Satu Sekolah Tergusur, Maka Lainnya Bisa Menyusul
Gerakan #SaveSMANSABandung mengingatkan kita semua, bahwa ancaman terhadap satu sekolah bisa menjadi preseden buruk bagi sekolah lainnya. Jika institusi sebesar SMAN 1 saja bisa digeser, apalagi sekolah-sekolah di pinggiran?
Karena itu, panggilan ini bukan hanya untuk alumni. Ini ajakan untuk orang tua, guru, siswa, warga kota, bahkan seluruh rakyat Indonesia. Kepedulian adalah kekuatan. Jangan biarkan sejarah digusur oleh kepentingan. Jangan biarkan pendidikan dikorbankan demi pembangunan tanpa nurani.
Bangsa ini butuh sekolah yang utuh, bukan hanya gedung yang mewah. Mari jaga SMANSA, dan bersama itu, kita jaga martabat pendidikan Indonesia.(Red)