“Model sanksi seperti ini rawan disalahartikan sebagai bentuk kompromi terhadap pelanggaran tata ruang. Ini bukan penegakan hukum, tapi kompensasi eksploitatif,” kritik Septian.
PW SEMMI menilai praktik tersebut mencerminkan potensi penyalahgunaan wewenang, yang bisa melanggar UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas dari KKN, serta membuka peluang penerapan pasal pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.
Merespons kondisi ini, PW SEMMI Jabar mengajukan lima rekomendasi strategis:
- Mendesak Direktorat GAKKUM KLHK menyelidiki seluruh dokumen penyusunan Perda RTRW 2024, termasuk KLHS dan berita acara konsultasi publik.
- Meminta klarifikasi dari Bupati dan DPRD KBB terkait hilangnya status lindung Karst Citatah.
- Mendorong Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi substansi perda dan melakukan koreksi regulasi.
- Menuntut penghentian sementara seluruh izin pemanfaatan ruang di Kecamatan Cipatat.
- Mendorong pembentukan forum pemantauan tata ruang berbasis masyarakat untuk meningkatkan partisipasi publik.
“Kita tidak bisa membiarkan ruang publik dikorbankan demi keuntungan privat. Ini bukan hanya soal tata ruang, tetapi soal keberlanjutan dan keadilan bagi generasi yang akan datang,” tegas Septian. (Red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News