JABARNEWS | PURWAKARTA – Empat kursi wakil rakyat di gedung parlemen yang megah kini terpaksa kosong. Para pemiliknya, yang dulunya dengan bangga menempati kursi-kursi empuk itu, kini harus merasakan pahitnya diusir dari tempat yang pernah mereka anggap sebagai rumah kedua.
Ironisnya, bukan skandal korupsi atau pelanggaran hukum yang merenggut jabatan mereka, melainkan sesuatu yang jauh lebih sederhana namun mematikan, kata-kata yang terlontar dari mulut mereka sendiri.
Anggota DPR dicopot, sebuah kalimat yang tak pernah dibayangkan akan menimpa Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya. Keempatnya dinonaktifkan partai mereka sendiri, sebuah keputusan yang sejatinya mencerminkan mereka dipecat masyarakat melalui mekanisme politik internal.
Keempat nama itu kini terukir dalam sejarah politik Indonesia sebagai wakil rakyat yang kehilangan kursinya bukan karena korupsi atau tindak pidana lainnya, melainkan karena sikap dan kata-kata yang dianggap melukai hati jutaan rakyat Indonesia yang tengah berjuang di tengah himpitan ekonomi.
Terhitung 1 September 2025, keempat kursi empuk di gedung wakil rakyat itu resmi kosong. Dua partai besar, NasDem dan PAN, mengambil langkah tegas yang mengejutkan dunia politik tanah air.
Bukan karena skandal keuangan atau pelanggaran hukum, melainkan karena sesuatu yang lebih fundamental dalam demokrasi, Kehilangan Kepercayaan Rakyat!
Ketika Kata Menjadi Bumerang yang Mematikan
Semuanya bermula dari sebuah sikap dan pernyataan yang mungkin dianggap sepele namun berujung fatal.
Ahmad Sahroni NasDem, politisi yang dikenal dengan julukan Crazy Rich Tanjung Priok, menyebut warga yang meminta DPR dibubarkan sebagai orang dengan “mental tolol“.
Kata-kata itu terlontar pada 22 Agustus 2025, lebih dari sepekan sebelum jalan hidupnya berubah drastis.
Sahroni, pengusaha sukses yang membangun kerajaan bisnisnya dari nol, mungkin tak pernah membayangkan bahwa kalimat singkat itu akan meruntuhkan karier politiknya.
Pria yang terbiasa berbicara lantang dan tegas itu seperti lupa bahwa ia berada di panggung politik, dimana setiap kata dan gerak-geriknya diawasi jutaan pasang mata dan telinga.
Di sisi lain, Nafa Urbach, aktris cantik yang memutuskan beralih profesi menjadi legislator, terjebak dalam upayanya menjelaskan kontroversi tunjangan DPR sebesar Rp 50 juta per bulan.
“Iya itu tadi, itu tuh bukan kenaikan, itu kompensasi untuk rumah jabatan. Ya, kan, rumah jabatan yang sekarang ini sudah tidak ada lagi. Jadi, rumah jabatan itu kan sekarang rumah-rumahnya itu sudah dikembalikan ke pemerintah. Jadi sekarang itu mendapat kompensasi untuk kontrak. Jadi anggota Dewan itu kan, gak orang Jakarta semuanya guys. Itu kan dari seluruh pelosok Indonesia gitu. Jadi gak semuanya punya rumah di Jakarta gitu,” begitu pembelaannya yang justru dianggap tidak sensitif terhadap kondisi rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.
Nafa, yang pernah menjadi idola layar televisi dan radio di era 90-an, kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa popularitas sebagai artis tidak otomatis menjamin kesuksesan di dunia politik. Dunia yang membutuhkan kepekaan sosial lebih dari sekadar kemampuan berakting dan bernyanyi.
Drama TikTok Berujung Petaka
Sementara itu, Eko Patrio, wakil rakyat dari PAN, membuat kesalahan fatal dengan mengunggah video parodi DJ di akun TikTok pribadinya @ekopatriosuper.
Video dengan musik “sound horeg” itu dimaksudkan untuk merespons kritik publik terhadap anggota DPR yang berjoget di Sidang Tahunan MPR 2025.
“Biar jogednya lebih keren pakai sound ini aja,” tulis Eko dalam video yang kemudian viral dengan cara yang tak pernah ia inginkan.
Pria yang terbiasa membuat orang tertawa di panggung hiburan itu justru membuat jutaan rakyat marah dengan video tersebut.