JABARNEWS | PURWAKARTA – Sejak akhir Agustus hingga awal September 2025, Indonesia diguncang gelombang demonstrasi. Di Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Makassar, jalanan dipenuhi ribuan massa yang menuntut perubahan.
Kekecewaan terhadap wakil rakyat dan kegelisahan sosial menjadi bara yang menyulut aksi tersebut.
Namun di beberapa kota, suara rakyat yang semula penuh harapan justru berubah menjadi kericuhan. Provokasi memicu amarah, kaca berhamburan, api melalap fasilitas umum, hingga merenggut nyawa manusia.
Di tengah arus kemarahan itu, Purwakarta memilih jalan berbeda. Kota kecil di antara Bandung dan Jakarta ini menampilkan wajah lain dari aksi demonstrasi.
Mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan dengan keyakinan bahwa aspirasi bisa disampaikan tanpa kekerasan. Mereka berbaris, mengangkat spanduk, menyuarakan tuntutan dengan tegas namun tetap tenang.
Asap hitam memang terlihat, tetapi hanya berasal dari ban bekas yang dibakar sebagai simbol perlawanan, bukan dari bangunan atau fasilitas umum yang dirusak. Yang terdengar hanyalah langkah kaki berpadu dengan lantang suara hati, seakan ingin menegaskan, bahwa demokrasi tidak harus lahir dari kerusuhan.
Ketika kota-kota besar terjebak dalam pusaran emosi, Purwakarta justru menghadirkan pelajaran berharga, bahwa rakyat bisa bersuara dengan damai, bahwa dialog konstruktif lebih kuat dari amarah, dan bahwa demokrasi dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Beragam Cara Suarakan Harapan
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mencatat aksi demonstrasi terjadi di 107 titik di 32 provinsi sejak 25 Agustus 2025. Dinamika aksi di berbagai daerah menunjukkan keragaman dalam menyampaikan aspirasi.
Sebagian aksi berlangsung damai, namun beberapa lokasi mengalami eskalasi yang tidak diinginkan, diduga karena infiltrasi unsur-unsur yang tidak bertanggung jawab.
“Kami mencatat, ada 107 titik aksi di 32 provinsi sejak 25 Agustus. Yang merah itu ada aksi yang berlanjut rusuh, yang kuning relatif kondusif,” kata Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi daerah tahun 2025, di Kemendagri, Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Sebagian besar berujung kerusuhan dengan pengrusakan dan pembakaran gedung DPRD, kantor pemerintah, kantor Polisi, hingga fasilitas umum.
Menurut Tito, Jakarta mencatat kerugian Rp50,4 miliar akibat kerusakan halte Transjakarta, MRT, dan CCTV.
Makassar, Surabaya, Solo, Kediri, Mataram, Bandung, Semarang, dan puluhan kota lainnya mengalami nasib serupa. Gedung-gedung legislatif dibakar, kantor pemerintah dirusak, kantor Polisi bahkan bangunan bersejarah pun tidak luput dari amukan massa.
Namun, tidak semua daerah mengalami eskalasi tersebut. Di Purwakarta, aksi demo pada Sabtu (30/8/2025) dan Senin (1/9/2025) menunjukkan wajah lain dari gerakan aspirasi rakyat.
Ratusan mahasiswa dari berbagai organisasi kemahasiswaan berhasil menjaga momentum protes tetap dalam koridor yang konstruktif, menyampaikan tuntutan utama mereka dengan cara yang damai.
Ketika Aspirasi Bertemu Keterbukaan
“Teman-teman kedatangan kita ke gedung wakil rakyat ini, bukan untuk diadudomba dengan bapak-bapak dari TNI maupun kepolisian,” tegas salah seorang mahasiswa saat berorasi di depan Gedung DPRD Purwakarta.
Kalimat sederhana ini mencerminkan kedewasaan berpikir para mahasiswa Purwakarta yang memahami bahwa tujuan mereka adalah menyampaikan aspirasi, bukan menciptakan chaos.
Mereka menjalankan hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 tentang kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, serta sesuai dengan ketentuan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.