SLB BCD Nusantara tidak lahir dari lembaga atau yayasan besar. Ia lahir dari keprihatinan dan semangat juang. Sujono menjual rumahnya, membeli sebidang tanah, dan membangun tempat tinggal serta kegiatan anak-anak disabilitas.
“Kami sekeluarga niat membantu. Rumah kami jual, dan akhirnya bisa beli lahan serta bangun rumah di sini,” tutur Sujono sambil menunjuk bangunan yang kini menjadi SLB BCD Nusantara.
Namun membesarkan mereka tidak cukup hanya dengan tempat. Ada tantangan: ekonomi, stigma masyarakat, dan keterbatasan tenaga pengajar.
“Anak-anak ini istimewa,” ujar Sujono. “Tapi sistem pembelajaran harus disesuaikan.”
Ia membagi mereka dalam tiga klasifikasi: mampu rawat, mampu latih, dan mampu didik—berdasar tingkat IQ dan usia mental. Anak-anak dengan IQ 30, misalnya, hanya bisa berkomunikasi melalui monolog dan butuh perawatan penuh. Tapi mereka tetap tumbuh—fisik dan psikis—dengan pendekatan yang tepat.