Harga Eceran Tertinggi (HET) pun kerap dilanggar secara terang-terangan, tetapi tidak ada sanksi tegas yang diberikan. Apakah ini murni kelalaian, atau sudah menjadi bentuk pembiaran sistemik?
Jika mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya terkait pelayanan regulative yang menyangkut dana publik, praktik ini jelas merupakan bentuk maladministrasi. Apalagi kerugian keuangan negara akibat kebocoran subsidi LPG 3 kg ditaksir mencapai Rp50 triliun setiap tahun.
Ironisnya, Pemerintah Daerah tampak abai terhadap berbagai rekomendasi lembaga negara seperti BPK, KPK, dan Ombudsman. Program-program penyelamatan subsidi seperti digitalisasi distribusi, kartu kendali LPG, serta pembentukan kelompok pengguna tak pernah dijalankan secara serius.
Tantangan Subsidi LPG 3 Kg Semakin Kompleks
Persoalan distribusi LPG 3 kg bersubsidi tak hanya terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi juga karena sistemnya memang penuh celah. Berikut beberapa tantangan utama yang memperparah kebocoran subsidi:
- Penerima subsidi sulit diidentifikasi. Siapa pun bisa membeli LPG 3 kg, tanpa ada data spesifik atau verifikasi yang jelas.
- Distribusi belum tepat sasaran. Penyaluran rawan diselewengkan oleh pelaku usaha dan rumah tangga mampu.
- Jumlah penggunaan tidak terbatas. Tidak ada sistem pembatasan kuota, sehingga konsumsi bisa melebihi kebutuhan wajar.
- Rawan pengoplosan dan penimbunan. Disparitas harga LPG subsidi dan nonsubsidi membuatnya menggiurkan untuk disalahgunakan.
- Harga diatur pengecer. Harga di tingkat konsumen tak terkendali karena ditentukan pengecer, bukan oleh pemerintah.





