Sensor tidak hanya terjadi melalui redaksi pemerintah, tetapi juga melalui ketakutan internal di ruang redaksi: wartawan dipaksa berpraktik swasensor agar tidak berhadapan dengan ancaman pembredelan atau penjara.
Sejarah mencatat betapa panjang daftar media yang dibungkam oleh negara, antara lain:
- 1973: Pencabutan Surat Izin Cetak Sinar Harapan berkaitan dengan pemberitaan RAPBN dengan judul “Anggaran ‘73-’74 Rp. 826 milyard”. Izin diberikan lagi dengan syarat Aristides Katopo tidak menjadi pemimpin redaksi lagi.
- 1973: Jurnalis sekaligus pemimpin redaksi koran Sinar Harapan, Aristides Katopo dilarang menjadi pemimpin redaksi sebagai syarat Sinar Harapan bisa terbit lagi.
- 1974: Pembredelan Harian KAMI, Abadi, Nusantara, Mingguan Senang, The Jakarta Times, Pemuda Indonesia, Pedoman, Majalah Berita Mingguan Ekspres, Seluruh Berita (Surabaya), Indonesia Pos (Ujung Pandang) dan Mahasiswa Indonesia. Dua belas media ini surat izin terbit dan surat izin cetaknya dicabut pemerintah setelah peristiwa Malari.
- 1975: Penangkapan Mochtar Lubis, jurnalis Harian Indonesia Raya
- 1978: Larangan penerbitan sementara tujuh media yakni Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi. Larangan penerbitan sementara dilakukan oleh pemerintah karena pemberitaan tujuh media ini dianggap menghasut.
- 1986: Harian Sinar Harapan dilarang terbit hingga tahun 1999
- 1990: Pencabutan izin penerbitan Tabloid Monitor
- 1990: Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor, Arswendo dipenjara setelah menerbitkan survei kontroversial
- 1994: Menteri Penerangan Harmoko mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tiga media besar: Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Editor dengan alasan mengganggu stabilitas nasional.
- 1994-1996: Perampasan terbitan Pers Kampus Balairung (UGM), Arena (IKIP Bandung), Genta (UKDW), Ujung Pandang Ekspres (UNHAS)
- 1995-1997: Jurnalis Tempo Bambang Harymurti dan Satrio Arismunandar dilarang bekerja di media massa karena tuduhan subversif
- 1995: Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo, jurnalis dan aktivis AJI dipenjara karena tuduhan membuat organisasi ilegal
- 1996: Jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) dibunuh setelah memberitakan kasus korupsi di Yogyakarta
Sensor di Dunia Seni dan Pengetahuan
Selain itu, kebebasan berpendapat di era Soeharto bukanlah hak, tetapi ancaman. Kampus, ruang publik, bahkan aktivitas berkesenian diawasi ketat. Kritik dipidanakan, dan korban kekerasan negara selalu disangka sebagai musuh pembangunan.
Soeharto membangun Orde Baru dengan lapis impunitas, menutup ruang keadilan, dan menanam ketakutan sistemik di masyarakat.
Di bawah Orde Baru, jurnalis kehilangan kedaulatannya sebagai pengawal publik. Sementara masyarakat kehilangan hak untuk memperoleh informasi yang benar dan berimbang.
Dengan demikian, Soeharto tidak hanya membungkam pers, tetapi juga memutus hak publik untuk tahu, sebuah pelanggaran fundamental terhadap prinsip demokrasi.
Tidak hanya kepada media, sensor juga dilakukan terhadap sejumlah karya fiksi dan nonfiksi. Menurut catatan Human Right Watch total diperkirakan ada 2.000 buku yang dilarang terbit oleh pemerintahan Soeharto.
Karya-karya kritis dan buku sejarah yang menyinggung peristiwa 1965 atau terkait dengan ideologi komunisme dilarang beredar.
Beberapa buku penting yang dilarang beredar di antaranya:
- Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, Vol. I karya Harry A. Poeze
- Di Bawah Lantera Merah karya Soe Hok Gie
- Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer
- Cina, Jawa, Madura dalam Konteks Hari Jadi Kota Surabaya
- Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia karya Joebaar Ajoeb
- The Devious Dalang: Sukarno and the So-Called Untung Putsch
- Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno karya Peter Dale Scott
- Primadosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto karya Wimanjaya K. Liotohe
- Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI karya Manai Sophiaan
- Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer
- Memoar Oei Tjoe Tat karya Oei Tjoe Tat (ed. Pramoedya Ananta Toer & Adi Prasetjo)
Pelarangan edar buku ini juga merembet pada pelarangan dan pembatasan pementasan seni dan musik. Pemerintahan Soeharto mencekal sejumlah pementasan seni dan teater yang berisi kritik terhadap pemerintah dan membubarkan organisasi seni.





