Pada tahun 1960-an pemerintah Orde Baru membubarkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dianggap berhaluan kiri.
Pembungkaman terus terjadi pada tahun-tahun selanjutnya. Misalnya W.S. Rendra dan kelompok Bengkel Teater dilarang pentas karena dianggap menghasut publik dan menyinggung pemerintah. Rendra bahkan dipenjara selama delapan bulan pada 1979.
Di dekade 1980-an, sensor merambah dunia teater populer. Teater Koma karya Nano Riantiarno kerap disensor karena pertunjukan seperti Opera Kecoa dan Suksesi dianggap terlalu satir terhadap pejabat dan isu kekuasaan.
Sementara itu, pengawasan ketat juga dilakukan terhadap naskah sastra dan teater lainnya.
Tidak hanya pementasan seni, Soeharto juga melarang siaran lagu-lagu yang mengkritik pemerintah di televisi. Lagu-lagu bertema ketimpangan sosial dan korupsi juga diawasi pemerintah.
Salah yang musisi yang menjadi korbannya adalah Iwan Fals. Ia pernah ditahan 12 hari dan interogasi TNI karena membawakan lagu Mbak Tini. Selain itu lagu Surat untuk Wakil Rakyat juga dilarang disiarkan di televisi.
Pelanggaran Hukum dan Ketidaklayakan Gelar
Lebih jauh lagi, selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, Soeharto juga menjadi aktor utama dalam pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ia mengabaikan nilai keadilan, menindas oposisi, dan memperkaya kroni-kroninya. Rekam jejak ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang menyebut bahwa penerima gelar Pahlawan Nasional harus memiliki “integritas moral dan keteladanan” serta “setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara”.
Soeharto justru mewariskan sistem kekuasaan yang antitesis terhadap nilai-nilai tersebut. Ia menutup jalan bagi demokrasi dan mengkriminalisasi pikiran-pikiran kritis.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan hanya tindakan melawan ingatan kolektif bangsa, tetapi juga ancaman bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus sejarah perlawanan itu, melukai para korban, dan mengingkari cita-cita reformasi 1998 yang menuntut keadilan dan kebebasan.
Pemberian gelar Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada rezim Prabowo-Gibran juga semakin menampakkan dengan terang benderang wajah otoritarianisme baru.





