PPR tersebut mengharuskan Tempo mengubah judul pada poster dan motion graphic agar sesuai dengan isi artikel, namun perubahan yang dilakukan dinilai tidak mencerminkan substansi pemberitaan yang sebenarnya.
Ia mencontohkan motion graphic yang menampilkan tumpukan karung beras berlubang dengan gambar hewan di atasnya, seolah menggambarkan bahwa beras hasil serapan pemerintah busuk.
“Itu tidak sesuai dengan kenyataan dan jelas mencederai kerja keras petani, penyuluh, serta pemerintah dalam menjaga ketersediaan pangan nasional,” katanya.
Chandra mengungkapkan bahwa pihaknya telah menempuh mekanisme etik di Dewan Pers sebelum menempuh jalur hukum.
“Ini bukan ujug-ujug menggugat. Proses etik sudah dijalankan sepenuhnya, tetapi karena keputusan Dewan Pers tidak dilaksanakan secara jujur dan profesional, kami menempuh jalur hukum agar perkara ini dinilai secara objektif dan terbuka,” katanya.
Langkah hukum ini juga dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap kebebasan pers yang profesional dan bertanggung jawab.
“Kami ingin pers bebas, tapi juga taat pada etika karena kebebasan tanpa etika bukan kebebasan, melainkan kekacauan informasi,” ujarnya.
Diketahui, Mentan Amran menggugat Tempo terkait poster “Poles-Poles Beras Busuk”. Saat ini, perkara tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Seiring berjalannya gugatan, Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menyampaikan kekhawatirannya terkait dampak preseden hukum bagi media dan pejabat publik.
“Gugatan Mentan Amran Sulaiman memang mencemaskan karena akan jadi preseden ke depan bagaimana publik dan pejabat publik melihat dan berhubungan dengan media,” katanya.





