IAW menyoroti bahwa kontrak Google Cloud tidak hanya mencakup sistem operasi dan penyimpanan, tetapi juga analitik serta integrasi aplikasi digital. Namun, kontrak ini dilakukan tanpa mekanisme kontrol publik dan perlindungan hukum terhadap data pelajar.
“Ironisnya, data anak-anak kita dari identitas hingga pola belajar berpotensi dikelola pihak asing. Tanpa izin, tanpa kontrol, dan tanpa perlindungan hukum,” lanjut Iskandar.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK turut memperkuat dugaan penyimpangan. BPK mencatat perbedaan harga antar-batch tanpa dasar teknis, spesifikasi yang dikunci hanya untuk satu vendor, serta temuan 685 ribu unit Chromebook (28%) tidak terpakai dan tersimpan di gudang. Proyek ini juga tidak disertai evaluasi pasca-pelaksanaan sejak 2019.
“Ini bukan proyek gagal. Ini pelanggaran sistemik yang merugikan negara dan merusak fondasi digitalisasi pendidikan nasional,” tegas Iskandar.
Lima pelanggaran hukum yang diidentifikasi IAW mencakup:
- UU Tipikor Pasal 2 dan 3: Dugaan penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan Datascrip sebagai rekanan tunggal.
- UU PBJ Pasal 22: Spesifikasi pengadaan tertutup, melanggar prinsip persaingan terbuka.
- UU Perlindungan Data Pribadi (PDP): Cloud digunakan tanpa pengawasan publik, melanggar hak privasi anak.
- UU Pengaruh Tidak Sah terhadap Kebijakan Publik: Dugaan konflik kepentingan antara investasi Google di sektor lain dan kebijakan Kemendikbudristek.
- UU Keuangan Negara: Indikasi pemborosan anggaran senilai Rp1,98 triliun.