Asfinawati menambahkan, gugatan tersebut tidak hanya mengancam media yang menjadi objek perkara, tetapi juga membahayakan demokrasi karena membatasi ruang publik dalam mengakses informasi dan kebenaran.
Ia menyebut langkah Amran sebagai bentuk judicial harassment yang bermotif membungkam kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang.
Menurutnya, praktik serupa juga pernah terjadi dalam beberapa kasus kriminalisasi terhadap tokoh masyarakat dan akademisi, seperti Fatia Maulidiyanti, Haris Azhar, dan Bambang Hero Saharjo dari Institut Pertanian Bogor.
“Untuk mematikan aktivitas dia. Ini bentuk Judicial Harassment, seolah beradab, tapi sesungguhnya tidak beradab,” ucap Asfinawati.
Ia menilai gugatan ini bisa menimbulkan chilling effect atau ketakutan bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur LBH Pers Mustafa Layong menegaskan bahwa gugatan yang diajukan Amran tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Ia menjelaskan bahwa Amran mempermasalahkan Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) dari Dewan Pers — hal yang sebenarnya berada di luar kewenangan pengadilan perdata.
Mustafa juga mengingatkan bahwa Kementerian Pertanian dibayar menggunakan pajak warga negara.
“Mungkin dalam konteks gugatan ini adalah ini menggunakan uang negara ya, karena yang menggugat adalah Menteri Pertanian,” katanya.
Kasus bermula ketika Ketua Kelompok Substansi Strategi Komunikasi dan Isu Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Pertanian, Wahyu Indarto, melaporkan majalah Tempo ke Dewan Pers pada Mei 2025.





