Daerah

Kuasa Hukum: Unsur Niat dan Perbuatan Jahat Tak Terbukti dalam Kasus Arifin Gandawijaya

×

Kuasa Hukum: Unsur Niat dan Perbuatan Jahat Tak Terbukti dalam Kasus Arifin Gandawijaya

Sebarkan artikel ini
Kuasa Hukum: Unsur Niat dan Perbuatan Jahat Tak Terbukti dalam Kasus Arifin Gandawijaya
Suasana persidangan kasus dugaan pemalsuan surat ahli waris yang menyeret nama Arifin Gandawijaya.

JABARNEWS| BANDUNG – Tim kuasa hukum Arifin Gandawijaya menilai dakwaan jaksa dalam kasus dugaan pemalsuan surat ahli waris tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Mereka menegaskan bahwa unsur mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan jahat) yang menjadi syarat utama dalam hukum pidana tidak terbukti secara nyata.

“Perbuatan itu dilakukan oleh pengacara, sementara semua dokumen berasal dari notaris yang tanda terimanya justru hilang. Jadi, di mana letak mens rea-nya?” ujar Baskara, salah satu pengacara Arifin, dalam sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Senin (10/11/2025).

Menurutnya, Arifin sama sekali tidak mengetahui adanya dugaan pemalsuan.

“Kalau pun tahu, ia tidak akan menggunakannya untuk melawan pihak lain. Dalam hukum pidana, orang yang tidak tahu tidak bisa dipidana,” tegasnya.

Baskara menilai, perkara ini lebih tepat dikategorikan sebagai kesalahan administratif, bukan tindak pidana. Ia berharap majelis hakim dapat menilai perkara ini secara objektif dan proporsional.

Baca Juga:  Warga Tionghoa Kota Bandung Siap Rayakan Imlek 2022 dengan Prokes Ketat

Dokumen Berasal dari Notaris, Tapi Bukti Tanda Terima Hilang

Persidangan juga menyoroti asal-usul dokumen yang menjadi pokok perkara. Berdasarkan keterangan tim pembela, surat ahli waris yang kini dipermasalahkan berasal langsung dari notaris. Dokumen itu kemudian diserahkan kepada pengacara terdakwa, sebelum akhirnya sampai ke tangan Arifin.

Namun, situasi menjadi rumit ketika pihak notaris mengaku kehilangan tanda terima dokumen tersebut. Hal ini menimbulkan keraguan besar terkait kejelasan rantai administrasi surat tersebut.

Kuasa hukum Arifin, Bobby Herlambang, menjelaskan, sejak awal tidak ada tanda-tanda kejanggalan dalam dokumen itu. “Surat itu dari notaris, lalu diserahkan ke lawyer, dan baru kemudian ke terdakwa. Masalahnya, pihak notaris sendiri sudah mengaku tanda terimanya hilang. Jadi mau ngomong apa lagi?” ujarnya.

Ia menegaskan, posisi Arifin justru dirugikan oleh ketidakjelasan prosedur dari pihak notaris. Menurut Bobby, kliennya hanya bertindak sebagai pembeli tanah yang telah melunasi kewajiban sesuai kesepakatan. “Sebagai pembeli, klien saya hanya membayar sesuai kesepakatan. Tidak ada alasan bagi dia untuk membuat surat palsu,” tambahnya.

Baca Juga:  Majelis Hakim PN Bandung Kabulkan Permintaan Habib Bahar Terkait Sidang Offline

Pembela Soroti Kejanggalan Laporan Ahli Waris

Tim pembela juga menyoroti kejanggalan laporan yang diajukan oleh pihak ahli waris. Mereka mengungkapkan, sebelum laporan polisi dibuat, ahli waris telah menerima uang total Rp8 miliar dari hasil penjualan tanah—Rp6,5 miliar diterima setelah transaksi, dan Rp1,5 miliar diterima semasa almarhum masih hidup.

“Tanahnya sudah dijual ke orang lain, ahli waris sudah menerima Rp6,5 miliar, bahkan sebelumnya almarhum sudah terima Rp1,5 miliar. Tapi masih juga melapor pemalsuan surat. Ini janggal,” ujar Bobby menegaskan.

Tim hukum menilai laporan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Sebaliknya, mereka berpendapat, laporan itu muncul setelah munculnya perbedaan pendapat di antara pihak keluarga ahli waris.

Bukti Forensik Diabaikan, Keadilan Dipertanyakan

Selain masalah administrasi, pembela juga mempertanyakan hasil uji Laboratorium Forensik (Labfor) yang menyatakan tanda tangan dalam surat ahli waris identik dengan dokumen pembanding. Fakta tersebut, menurut mereka, seharusnya menjadi bukti penting bahwa tidak ada unsur pemalsuan dalam perkara ini.

Baca Juga:  Belpur Perkuat Keistimewaan Purwakarta di Penghujung Ramadhan

“Kalau hasil Labfor bilang tanda tangan identik, lalu di mana letak pemalsuannya? Tapi hasil itu malah diabaikan. Ini jadi tanda tanya besar soal keadilan,” kata Baskara.

Ia menilai, pengabaian terhadap hasil forensik menimbulkan kesan bahwa perkara ini tidak ditangani secara objektif. Karena itu, tim pembela meminta majelis hakim mempertimbangkan seluruh bukti secara menyeluruh, bukan hanya berdasarkan asumsi dakwaan.

Kasus ini pun dinilai memperlihatkan kompleksitas hubungan antara notaris, pengacara, dan klien dalam transaksi bernilai tinggi. Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Publik menanti, apakah kesaksian tersebut akan memperjelas posisi hukum Arifin Gandawijaya, atau justru membuka fakta baru mengenai dugaan pemalsuan yang masih menyisakan banyak tanda tanya.(Red)