Ragam

Siapa di Balik Penunjukan Jabatan KCD XIII Ciamis? Isu Nepotisme Ancam Citra Gubernur KDM di Jabar

×

Siapa di Balik Penunjukan Jabatan KCD XIII Ciamis? Isu Nepotisme Ancam Citra Gubernur KDM di Jabar

Sebarkan artikel ini
Siapa di Balik Penunjukan Jabatan KCD XIII Ciamis? Isu Nepotisme Ancam Citra Gubernur KDM di Jabar
Citra Gubernur Jabar, KDM disebut terancam akibat kisruh jabatan KCD XIII Ciamis yang dinilai sarat nepotisme karena diduga kedekatan elit

 

JABARNEWS | BAANDUNG – Isu praktik nepotisme muncul di lingkungan orang dekat Gubernur Jabar KDM. Kegaduhan merebak pasca pengangkatan Dwi Yanti Estriningrum sebagai Kepala Cabang Dinas Pendidikan XIII yang dinilai tidak melalui prosedur resmi Pemprov Jabar. Dugaan kolusi kian menguat lantaran penempatan tersebut disebut sarat kedekatan dengan lingkaran elit, padahal di wilayah Ciamis, Banjar, dan Pangandaran terdapat banyak kader berkompeten yang dinilai lebih layak menduduki jabatan itu.

Temuan lapangan serta respons para tokoh mempertegas adanya aroma penyalahgunaan wewenang yang berpotensi mengarah pada praktik KKN. Kondisi ini tidak hanya memicu kegelisahan publik, tetapi juga mengancam citra KDM yang selama ini dikenal tegas menolak praktik KKN dan selalu menegaskan tidak melibatkan tim suksesnya dalam penempatan jabatan.

Kegaduhan Jabatan KCD XIII Mencuat

Penetapan Dwi Yanti Estriningrum, S.Sos., M.Pd sebagai Kepala Cabang Dinas Pendidikan (KCD) XIII terus menuai kritik tajam. Keputusan yang dinilai tidak melalui mekanisme resmi ini langsung memantik gelombang penolakan dari berbagai elemen pendidikan di Ciamis, Banjar, dan Pangandaran. Mereka menilai proses tersebut tidak transparan dan mengabaikan prinsip profesionalisme yang wajib dijunjung di lingkup Pemprov Jabar.

Situasi semakin panas setelah muncul informasi bahwa Dwi Yanti merupakan PNS di Kota Banjar sekaligus istri dari seseorang yang diduga dekat dengan lingkaran Gubernur Jabar KDM. Fakta tersebut mempertebal dugaan bahwa penempatan jabatan itu sarat praktik nepotisme dan kolusi. Dalam konteks itu, muncul pertanyaan publik: apakah proses pengisian jabatan strategis kini kembali dikendalikan oleh kedekatan personal?

Baca Juga:  Ramalan Zodiak Hari Ini Selasa 22 November 2022, Gemini, Cancer dan Leo

Dugaan Nepotisme Menguat, Kredibilitas Dipertanyakan

Ketua Jurnalis Hukum Bandung (JHB), Suyono, dalam jumpa pers di Bandung pada Jumat, 15 November 2025, menegaskan bahwa jika benar ada intervensi dari lingkaran terdekat Gubernur, maka tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi. Ia menyatakan secara lugas, “Ini jelas merusak citra KDM sebagai Gubernur Jabar yang sudah berkomitmen untuk tidak melakukan KKN dalam penempatan jabatan.”

Suyono juga menilai bahwa praktik semacam ini, jika dibiarkan, akan merusak tatanan birokrasi dan menimbulkan ketegangan di internal Dinas Pendidikan. Ia menjelaskan bahwa banyak kader berpengalaman di wilayah KCD XIII yang selama ini menjalankan tugas secara profesional, tetapi justru terpinggirkan akibat penunjukan berbasis kedekatan. Menurutnya, hal ini “mengabaikan prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi pondasi pengangkatan jabatan publik.”

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa publik perlu mengetahui kebenaran dari kabar tersebut. Ia menambahkan, “Jika benar pengangkatan ini didorong oleh kepentingan orang dekat, maka hal itu harus segera dihentikan dan dievaluasi.”

Ancaman Terhadap Citra KDM dan Integritas Pemerintahan

Selain mengkritisi proses penunjukan, Suyono juga menyoroti dampak serius terhadap reputasi Gubernur Jabar KDM. Ia mengingatkan bahwa KDM selama ini konsisten menyampaikan komitmen untuk tidak menggunakan jaringan tim sukses atau orang dekatnya dalam mengisi jabatan strategis pemerintahan. Komitmen itu bahkan kerap disampaikan dalam forum resmi, termasuk pada Rapat Paripurna DPRD serta pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya, 4 April 2025.

Dalam pernyataan tidak langsungnya, Suyono menyampaikan bahwa tindakan oknum tertentu yang mengatasnamakan kedekatan dengan Gubernur justru berpotensi mencoreng nama baik kepala daerah tersebut. Ia menegaskan bahwa “ulah orang dekat KDM malah merugikan KDM sendiri dan menciptakan kesan bahwa ia mengabaikan prinsip pemerintahan bersih.”

Baca Juga:  Sepasang Muda-mudi Digerebeg Karena Diduga Asusila Di Toilet SPBU Anjun

Ia juga menilai bahwa kegaduhan ini tidak hanya merusak suasana kerja di KCD XIII, tetapi berpotensi memperburuk kepercayaan publik terhadap profesionalisme Pemprov Jabar. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya sikap tegas Gubernur untuk menuntaskan polemik ini secara transparan.

Desakan Evaluasi Menyeluruh dan Seruan Transparansi

Di bagian akhir pernyataannya, Suyono meminta Pemprov Jabar segera melakukan evaluasi menyeluruh atas proses pengangkatan jabatan tersebut. Ia menegaskan, “Peninjauan ulang pengangkatan jabatan ini mutlak diperlukan untuk menjaga kondusivitas, terlebih agar tidak muncul lagi asumsi bahwa Pemprov Jabar melakukan praktik KKN yang selama ini ditolak keras oleh KDM.”

Suyono juga mengingatkan bahwa proses pengisian jabatan publik harus dilakukan secara objektif, terbuka, dan mengedepankan rekam jejak profesional, bukan relasi personal. Baginya, hanya dengan cara itu kredibilitas pemerintahan dapat dipertahankan.

Selanjutnya, ia menilai bahwa perbaikan sistemik harus segera ditempuh. Transparansi dalam seluruh tahapan pengangkatan, mulai dari seleksi hingga penetapan, sangat diperlukan agar tidak ada ruang bagi praktik KKN. Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan pentingnya langkah korektif dari Pemprov, sembari menambahkan bahwa “masyarakat berhak mendapatkan birokrasi yang bersih, bukan birokrasi yang dikendalikan oleh kedekatan elit.”

Dengan sorotan publik yang semakin menguat, kini Pemprov Jabar dituntut untuk tidak tinggal diam. Evaluasi yang objektif dan langkah tegas dari Gubernur KDM menjadi penentu apakah polemik ini akan mereda atau justru berkembang menjadi krisis integritas yang lebih besar.

Baca Juga:  Dedi Mulyadi Sebut Spirit Bela Negara ASN Jabar Rendah, Siapkan Pelatihan Khusus

Nepotisme, Pelanggaran Berat di Sistem Birokrasi

Nepotisme bukan hanya dipandang sebagai persoalan etika, tetapi juga dapat melanggar hukum positif Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 secara tegas melarang praktik nepotisme dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam pengangkatan jabatan. Ketentuan tersebut diperkuat oleh UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang mewajibkan seluruh proses mutasi, promosi, dan rotasi jabatan dilakukan berdasarkan sistem merit.

Dalam konteks hukum pidana, nepotisme yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau memfasilitasi penyalahgunaan wewenang dapat masuk ke ranah tindak pidana korupsi. UU Tipikor mengatur bahwa penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dapat dijerat Pasal 3, dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara.

Jika dalam proses pengangkatan ditemukan adanya gratifikasi, pemberian hadiah, atau suap, pelakunya dapat dikenai Pasal 5, Pasal 11, ataupun Pasal 12 UU Tipikor, dengan ancaman pidana mulai dari 4 hingga 20 tahun penjara. Manipulasi seleksi jabatan, persekongkolan untuk memenangkan individu tertentu, atau pengaturan proyek juga dapat masuk dalam kategori kolusi yang dijerat Pasal 22 UU Tipikor.

Kerangka hukum tersebut menunjukkan bahwa nepotisme tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran ringan. Setiap tindakan yang memanfaatkan jabatan publik untuk menguntungkan orang dekat sangat berpotensi menyeret pelakunya—baik pemberi maupun penerima manfaat—ke dalam proses hukum. (Red)