Ragam

Arifin Gandawijaya Klaim Dikriminalisasi: Tuntutan 1 Tahun dan Surat ke Presiden Jadi Sorotan

×

Arifin Gandawijaya Klaim Dikriminalisasi: Tuntutan 1 Tahun dan Surat ke Presiden Jadi Sorotan

Sebarkan artikel ini
Arifin Gandawijaya Klaim Dikriminalisasi: Tuntutan 1 Tahun dan Surat ke Presiden Jadi Sorotan
Arifin Gandawijaya memberikan keterangan pers usai sidang, menegaskan bahwa dirinya telah dikriminalisasi.

JABARNEWS| BANDUNG – Terdakwa kasus dugaan pemalsuan dokumen jual beli tanah, Arifin Gandawijaya, menilai proses hukum yang menjeratnya sebagai bentuk kriminalisasi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntutnya satu tahun penjara. Merasa diperlakukan tidak adil, pengusaha media Radio Ardan itu bahkan telah mengirim surat resmi kepada Presiden untuk meminta perlindungan hukum atas perkara yang menurutnya tidak pernah ia pahami sejak awal.

Arifin Nilai Tuntutan Tidak Adil

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Senin (1/12/2025), JPU menyatakan Arifin bersalah menggunakan dokumen palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Namun, Arifin bersikap tegas bahwa sejak awal ia tidak mengetahui adanya pemalsuan dalam dokumen yang digunakan.

“Apa yang didakwakan kepada saya, semua sejak awal tidak jelas. Saya sendiri tidak tahu bahwa surat itu palsu,” ujarnya usai sidang kepada pers.

Arifin menjelaskan bahwa dokumen tersebut ia terima melalui pengacara. “Saya menerima surat itu dari pengacara. Dan pengacara dari notaris, kalau seperti itu saya tidak menerima langsung. Sementara yang memberikan kepada saya tidak diperlakukan hukum yang sama. Semua dibebankan kepada saya,” katanya.

Ia kemudian menegaskan bahwa penyidik seharusnya mencari pelaku pemalsuan yang sebenarnya. “Penyidik dari awal harus mencari siapa pelaku aslinya pemalsuannya surat itu. Siapa yang memalsukan tanda tangan tersebut,” tambahnya.

Baca Juga:  Kasus Pemalsuan Surat Rp2 Miliar: Hakim PN Bandung Tolak Eksepsi, Sidang Arifin Gandawijaya Berlanjut

Karena merasa tidak pernah mengetahui adanya pemalsuan, Arifin kembali menekankan ketidakadilan proses hukum ini. “Kalau dibebankan kepada saya, saya tidak tahu. Saya tidak tahu itu dipalsukan, saya juga tidak mengetahui sejak awal, saya tahu dari pengacara saya,” ucapnya.

Transaksi Tanah Rp2,5 Miliar yang Berujung Dakwaan

Perkara pidana ini berpusat pada transaksi jual beli tanah senilai Rp2,5 miliar yang berlangsung pada tahun 2015. Jaksa menilai Arifin menggunakan dokumen ahli waris palsu dalam proses transaksi tersebut, termasuk Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 07 tanggal 15 April 2015 yang dibuat oleh Notaris Dedeh Aminah.

Transaksi melibatkan almarhum Djedje Adiwiria sebagai penjual, yang merupakan ayah dari pelapor, Deni Irwan St. Arifin menegaskan bahwa ia membeli tanah langsung dari penjual yang pada saat itu masih hidup. Karena itu, ia memandang bahwa persetujuan ahli waris tidak diperlukan.

“Saya membeli kepada penjualnya yang masih hidup. Saya punya kewajiban hanya membayar tanah itu, surat itu tidak saya perlukan karena saya membeli dari penjual yang saat itu masih hidup,” ujar Arifin.

Ia menambahkan bahwa ahli waris tidak berperan dalam transaksi tersebut. “Jadi ahli waris tidak digunakan di sini dan tidak perlu persetujuan ahli waris masih hidup. Saya bisa melakukan transaksi jual beli,” katanya.

Baca Juga:  Aktivis Pemuda dan Mahasiswa Bandung Tolak Intervensi Sidang di PN Bandung

Kuasa Hukum Soroti Profesionalisme Jaksa dan Hilangnya Dokumen

Kuasa hukum Arifin, Hotma Bhaskara Nainggolan, SH MH, menyampaikan kritik keras terhadap JPU. Ia menilai kasus ini semestinya menjadi perhatian Kejaksaan Agung karena menyangkut profesionalisme jaksa.

“Karena ini menyangkut profesionalism JPU. Dari awal saja, dakwaannya sangat buruk. Tidak sebagaimana jaksa yang bisa mengurai fakta-fakta, seharusnya,” ujar Hotma.

Ia menuding bahwa sejumlah dokumen penting justru hilang. “Ini preseden buruk karena ada kriminalisasi. Jika ada kondisi seperti ini, masyarakat Jabar, dokumen juga semua hilang, di notaris hilang, dokumen permohonan di PN Bandung juga hilang. Dokumen semua hilang,” tegasnya.

Hotma menambahkan bahwa ada dugaan penggunaan dokumen palsu tetapi pihak lain tidak pernah dijadikan terdakwa. “Dari bukti pembuktian, diduga menggunakan dokumen palsu yang juga menggunakan orang lain. Orang lainnya tidak ikut diperiksa sebagai terdakwa. Kalau dianggap menyuruh lakukan, yang disuruh juga tidak pernah didakwa,” ujarnya.

Menurutnya, kliennya tidak pernah melakukan pemalsuan surat. Dakwaan tersebut tidak memiliki dasar bukti yang layak. Ia juga menegaskan bahwa kondisi-kondisi yang menunjukkan ketidakbersalahan Arifin tidak pernah dijadikan pertimbangan.

Baca Juga:  Sidang Perjalanan Fiktif DPRD Purwakarta, Penyakit Lupa Menjangkiti Saksi

“Kalau benar hasil putusan pengadilan ini tidak diperhatikan, maka sempurnalah kriminalisasi itu,” tambahnya.

Arifin Kirim Surat ke Presiden, Minta Perlindungan Hukum

Arifin mengaku sangat terbebani oleh proses hukum ini. Ia mengungkapkan tekanan mental yang dialaminya sebagai warga biasa yang menghadapi dakwaan serius tanpa bukti yang jelas.

“Saya sebagai orang biasa seperti saya, sangat sulit bagi saya. Apa yang saya alami, atas dasar itu saya sudah buat surat kepada Bapak Presiden untuk meminta perlindungan hukum atas tindak kriminalisasi ini,” ujarnya.

Dengan ancaman Pasal 263 KUHP yang dapat membawa hukuman hingga enam tahun penjara, Arifin berharap pemerintah dapat memberikan perlindungan agar proses hukum berjalan objektif dan adil.

Latar Belakang Sengketa

Kasus ini berawal dari sengketa kepemilikan tanah di Desa Lengensari, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Arifin menjelaskan bahwa pihak lain pernah mengklaim tanah tersebut, sementara pengacaranya sebelumnya dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan dengan PDAM Tirtawening, yang juga mengklaim hak guna pakai.

Menurut Arifin, setelah ia mengambil alih dan menyerahkan penanganan kasus kepada pengacara bernama Tomson, permasalahan tersebut akhirnya dapat dimenangkan. Meskipun demikian, sengketa tanah itu justru menjadi awal munculnya persoalan pidana yang menimpanya.(Red)