Ia juga menyoroti lambannya penanganan kasus anak tidak sekolah akibat belum adanya sistem terpadu di lapangan. Menurutnya, pembentukan satuan tugas atau markas terpadu menjadi kebutuhan mendesak agar proses identifikasi, verifikasi, hingga tindak lanjut, baik kembali ke sekolah formal, PKBM, maupun jalur alternatif—dapat berjalan cepat dan terkoordinasi.
Ginanjar menilai berbagai program pemerintah seperti beasiswa, Program Indonesia Pintar (PIP), pendidikan kesetaraan, dan kejar paket sebenarnya sudah tersedia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada ketepatan data sasaran.
Masalah lain yang disoroti adalah lemahnya sinergi lintas sektor. Penanganan ATS/APS, menurut Dewan Pendidikan, tidak bisa dibebankan hanya pada dinas pendidikan, tetapi harus melibatkan desa, sekolah, PKBM, pendamping sosial, serta operator data agar intervensi tidak berjalan parsial.
Berdasarkan catatan Dewan Pendidikan, jumlah ATS di Cianjur justru menunjukkan fluktuasi signifikan dalam rentang waktu singkat. Pada 5 Agustus 2025, jumlah ATS tercatat sebanyak 46.547 anak, sementara pada 16 September 2025 meningkat menjadi 53.094 anak. Kenaikan juga terjadi pada kategori anak putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan di jenjang dasar maupun menengah.
Menurut Ginanjar, kondisi tersebut mempertegas pentingnya data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, agar kebijakan tidak sekadar berbasis angka administratif, melainkan mencerminkan kondisi riil di lapangan.





