Kekecewaan semakin dalam karena Silvia telah membayar Rp 23 juta di awal, yang mencakup biaya pendaftaran, kegiatan sekolah, dan iuran tiga bulan pertama. Setelahnya, ia masih harus membayar Rp 2 juta setiap bulan.
“Makanya dengan biaya yang menurut saya mahal itu kami kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan,” ungkapnya.
Hal serupa dialami Benny Sugeng Waluyo, wali murid dari kelas inklusi. Ia menyekolahkan anaknya dengan harapan anaknya mendapat layanan terapi psikologi seperti yang dijanjikan sekolah. Namun program itu tidak pernah dijalankan.
“Tapi selama anak kami sekolah di sini realisasi itu tidak ada,” kata Sugeng.