JABARNEWS | BANDUNG – DPD Paguyuban Advokat Sunda Indonesia (PAKSI) Kota Bandung akhirnya melayangkan gugatan hukum yang mengguncang ruang publik Jawa Barat. Gugatan senilai Rp7 miliar itu tertuju kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) serta Panitia Penyelenggara Pameran Senjata Tradisional Nusantara 2025.
Gugatan ini bukan tanpa alasan. PAKSI menuding Pemprov Jabar melakukan perbuatan melawan hukum karena mencantumkan Kujang sebagai “senjata khas Jawa Barat” dalam pameran yang akan digelar di Museum Sri Baduga, Bandung, pada 29 Juli hingga 31 Oktober 2025. Dengan tindakan itu, Pemprov Jabar telah menyederhanakan simbol budaya Sunda dan mengaburkan nilai-nilai sakral yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Sunda.
“Kujang itu pusaka, bukan senjata. Menyamakannya dengan senjata hanyalah upaya menyederhanakan warisan budaya menjadi komoditas pameran,” tegas Kamaludin, SH, kuasa hukum para penggugat.
Dibungkus Budaya, Diperjualbelikan Makna
PAKSI tidak tinggal diam menghadapi praktik yang mereka anggap sebagai “komodifikasi simbolik”. Mereka menyeret perkara ini ke ranah hukum melalui mekanisme class action yang mewakili jutaan masyarakat Sunda di tanah air maupun diaspora. Gugatan ini terdaftar di Pengadilan Negeri Bandung dengan Nomor: 292 / PDT. 6 / 2025 / PN Bdg sejak 3 Juli 2025.
Menurut PAKSI, penyematan istilah “senjata” pada Kujang sama saja dengan mereduksi makna luhur benda tersebut. Mereka menegaskan bahwa Kujang merupakan pusaka adat budaya Sunda yang sarat nilai spiritual, bukan alat kekerasan atau perang.
Referensi Hukum: Kujang Tak Penuhi Unsur Senjata Tajam
PAKSI juga membawa dasar hukum kuat. Mereka mengutip putusan terdahulu dalam kasus pidana No. 259/Pid.B/2011/PN.Sbg, di mana Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa Kujang tidak memenuhi unsur senjata menurut Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Tajam. Ini memperkuat argumen bahwa penyebutan Kujang sebagai senjata bukan hanya keliru secara budaya, tapi juga tidak sah menurut hukum.
Tuntutan Tegas: Pameran Dibatalkan, Perda Ditetapkan
PAKSI menuntut agar pengadilan mengabulkan gugatan mereka secara keseluruhan. Mereka meminta agar:
- Para penggugat diakui secara hukum sebagai wakil dari masyarakat Sunda.
- Kujang ditetapkan sebagai benda pusaka adat budaya Sunda yang sakral, identik, dan khas.
- Pemerintah daerah menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan Kujang bukan senjata, serta mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) terkait statusnya sebagai pusaka budaya.
- Seluruh dokumen, informasi, dan materi pameran yang menyebut Kujang sebagai senjata dihapus dan dimusnahkan.
- Pemerintah dan DPRD Jabar menyampaikan permintaan maaf terbuka melalui media nasional kepada masyarakat Sunda.
PAKSI mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung untuk membatalkan Pameran Senjata Tradisional Nusantara 2025. Jika selama panitia dan Pemprov Jabar masih menyebut Kujang sebagai senjata dalam narasi resmi mereka. Mereka menilai narasi tersebut mencederai identitas budaya Sunda dan memperkuat kekeliruan historis terhadap simbol yang sakral.
Tuntutan Ganti Rugi dan Pendirian Monumen
Para penggugat menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp7 miliar kepada Pemprov Jabar. Mereka juga meminta hakim memerintahkan para tergugat membangun monumen “Kujang Bukan Senjata” di Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Ini sebagai bentuk pemulihan simbolik terhadap penghinaan budaya.
Selain itu, para penggugat menuntut pengadilan menjatuhkan hukuman dwangsom—yakni denda paksa harian—sebesar Rp7 juta per hari kepada para tergugat. Jika mereka terlambat menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Kerugian kami bukan hanya bersifat materi, tapi juga menyentuh martabat budaya. Ini bukan sekadar gugatan, tapi perjuangan atas warisan leluhur yang kami jaga agar tetap dikenali dan dihormati,” tegas Dandan Kusdani, SH, salah satu kuasa hukum PAKSI.
Simbol Budaya Bukan Pajangan Proyek
PAKSI tidak memandang gugatan ini sebagai sengketa administratif biasa. Mereka menyebutnya sebagai peringatan keras terhadap kecenderungan negara yang abai terhadap akar budaya warganya.
Penggugat menilai kebijakan budaya di tingkat daerah kerap bersifat dangkal, seremonial, dan tidak menyentuh substansi. Kebiasaan pemerintah yang menjadikan simbol budaya seperti Kujang hanya sebagai aksesori proyek saja, bukan sebagai nilai yang maknanya selalu terjaga.
PAKSI juga menyerukan agar negara berhenti memperlakukan budaya sebagai objek dekoratif, dan mulai menempatkannya secara terhormat sesuai konteks sejarah dan nilai kulturalnya.
Melalui gugatan ini, PAKSI ingin membangun preseden hukum dan etika, agar ke depan siapa pun tidak lagi menyederhanakan budaya menjadi sekadar komoditas, melainkan mengangkatnya sebagai pilar penghormatan terhadap identitas lokal.
Sidang Perdana Tanpa Tergugat
Pengadilan Negeri Bandung telah menggelar sidang perdana gugatan class action dari PAKSI pada Selasa, 22 Juli 2025. Namun, pihak tergugat yakni Pemprov Jabar dan panitia pameran sama sekali tidak menghadiri sidang tersebut.
Majelis Hakim akhirnya menunda persidangan dan menjadwalkannya pekan depan. PAKSI menilai ketidakhadiran tergugat di ruang sidang sebagai bentuk pengabaian terhadap aspirasi rakyat dan penghinaan terhadap proses hukum yang sah.
“Kami datang membawa martabat budaya. Tapi tergugat justru menghilang dari tanggung jawabnya. Ini bukan sinyal baik dari pemerintah yang seharusnya hadir melindungi warisan warganya,” ujar Kamaludin, SH, kuasa hukum utama PAKSI.
>>>>>>>>>>>Absennya pihak tergugat tidak hanya mengecewakan, tetapi juga memperlihatkan sikap abai terhadap proses hukum dan aspirasi masyarakat Sunda yang merasa terluka.
Akibat ketidakhadiran tersebut, Majelis Hakim menunda persidangan dan menjadwalkannya kembali untuk pekan depan.
“Ini bukan sekadar perkara hukum, ini menyangkut harga diri budaya kami. Kami berharap para tergugat menghormati proses pengadilan dan tidak terus bersembunyi di balik birokrasi,” ujar Kamaludin, SH, dalam keterangannya usai sidang.(Red)