“Dimungkinkan ada kerja sama dengan swasta. Tapi kita perlu dalami lebih lanjut, terutama terkait pengelolaan RDF (Refuse-Derived Fuel) dan skema G to B (government to business),” jelasnya.
Pemutusan kontrak ini juga dipengaruhi oleh kondisi keuangan PT Jasa Sarana yang belum membaik. Berdasarkan laporan tahunan perusahaan, BUMD tersebut mencatatkan kerugian sebesar Rp11,8 miliar pada 2024, setelah sebelumnya rugi Rp14,07 miliar pada 2023.
Selain persoalan kinerja, PT Jasa Sarana tengah disorot akibat kasus dugaan korupsi pajak tambang. Dua mantan direktur, yakni M. Hanif (Dirut 2019–2022) dan Indrawan Sumantri (Dirut sejak 2022), sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Sumedang. (Red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News