Menurut tim hukum, penundaan tersebut melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP yang mewajibkan praperadilan disidangkan secara cepat (speedy trial) dan diputus paling lama dalam tujuh hari. Bahkan, penundaan berpotensi menggugurkan hak pemohon untuk menguji keabsahan penyidikan karena pokok perkara bisa segera diperiksa oleh majelis hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.
“Praperadilan adalah instrumen untuk melindungi hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Oleh karena itu, prosesnya tidak boleh dihambat dengan alasan administratif,” tegas Anggi Saputra, S.H., LL.M.
Tim Anas & Partner juga menilai ketidakhadiran termohon bertentangan dengan etika profesi Polri, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf b Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia jo. Pasal 8 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022. Mereka mendesak agar pimpinan kepolisian, termasuk Kapolri dan Kapolres Indramayu, memerintahkan kehadiran termohon di sidang berikutnya dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Selain itu, tim hukum meminta Divisi Propam Polri memeriksa dugaan pelanggaran kode etik aparat termohon, serta mendorong Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengawasi jalannya persidangan demi menjamin transparansi dan akuntabilitas peradilan.
“Kami berharap seluruh pihak, baik aparat penegak hukum maupun lembaga peradilan, menjunjung tinggi asas fair trial serta komitmen terhadap hukum acara pidana yang cepat, sederhana, dan berkeadilan,” tutup Yusuf Agung Purnama, S.H., M.H. (Red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News