Hasil investigasi IAW menunjukkan tiga pola penghilangan aset negara: penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) tanpa dasar hukum oleh oknum BPN; perubahan fungsi lahan lewat surat keputusan pejabat daerah tanpa proses pelepasan domain publik; dan penyewaan liar oleh swasta tanpa menyetorkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Dari total 1.190 hektare, hanya 18 persen yang masih tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN). Sisanya sudah berubah menjadi apartemen, mal, gedung perkantoran, dan proyek komersial tanpa catatan pelepasan resmi dari negara,” jelas Iskandar.
IAW menaksir kerugian negara akibat penguasaan ilegal tersebut mencapai Rp17.450 triliun, berdasarkan proyeksi nilai pasar dan potensi pendapatan sewa tahun 2025. Ironisnya, audit forensik atas pembebasan lahan 1961–1962 belum pernah dilakukan, meskipun dokumen historis masih tersimpan di Gedong Arsip DKI dan Perpustakaan Bank DKI.
“Jika hukum era 1959–1963 diabaikan, itu berarti mengkhianati konstitusi. Tanah milik negara tidak boleh berubah jadi komoditas diam-diam,” tegas Iskandar.
IAW mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) guna melakukan audit ulang terhadap aset bersejarah di Jakarta, membekukan seluruh sertifikat HGB di kawasan bermasalah, serta membentuk Satgas Gabungan yang melibatkan KPK, BPK, Kejaksaan Agung, Arsip Nasional, dan OJK.