Penegasan itu disambut Ahmad Rifa’i yang menilai bahwa Muhammadiyah sejak awal adalah gerakan intelektual yang tidak memisahkan diri dari akar kebudayaan lokal. Ia mengingatkan bahwa KH. Ahmad Dahlan telah merangkul berbagai bentuk ekspresi budaya sebagai metode dakwah yang relevan dengan zaman, sebuah spirit yang menurutnya harus terus dihidupkan.
Cecep Ahmad Hidayat kemudian menyampaikan kritik konstruktif. Ia menyebut posisi seni dalam tubuh Muhammadiyah saat ini masih seperti ungkapan Sunda “dog-dog pangrewong” sekadar pelengkap, bukan unsur strategis. Padahal, kata Cecep, gerakan berkemajuan semestinya menempatkan seni sebagai bagian inheren dari misi dakwah Islam.
Pandangan tersebut diperkuat Ace Somantri yang menilai seni seharusnya menjadi nilai esensial dalam kebudayaan Muhammadiyah. Ia juga membacakan puisi reflektif yang menyoroti kerusakan lingkungan akibat keserakahan manusia. Puisinya menyerukan kepedulian ekologis dengan pesan inti bahwa “bumi bukan warisan, melainkan titipan yang harus dijaga.”
Momen sarasehan semakin hidup ketika Kiai Cepu membacakan puisi prosa penuh ekspresi. Gerak tubuhnya yang teatrikal dan suara lantangnya menggema hingga sudut panggung, memikat para peserta yang memadati ruang pameran.
Milad Muhammadiyah ke-113 di Bandung kali ini terasa berbeda. Rangkaian acaranya padat, berkualitas, dan menghadirkan dinamika budaya yang kuat jauh dari kesan seremoni ala kadarnya. Semangat itu disambut dengan harapan agar perayaan ini menjadi inspirasi bagi seluruh aktivis Persyarikatan, khususnya di Jawa Barat.





