“Ada yang bilang, ‘Katanya calon guru, kok calon guru kayak gini sih?’”, ungkap Shela mencontohkan komentar netizen.
Menurutnya, narasi sempit seperti itu yang akhirnya membuat banyak guru tidak berani speak-up.
Ia membandingkan pengalamannya dengan kasus yang baru-baru ini ramai diperbincangkan, yaitu pemecatan seorang guru yang juga merupakan vokalis band Sukatani karena dianggap berpenampilan tidak pantas.
“Kalau guru harus selalu mengikuti standar sempit yang ditentukan masyarakat, lalu bagaimana dengan kami, calon guru di masa depan, yang ingin mendapatkan keadilan?” katanya.
Shela pun mempertanyakan apakah dalam mengkritik kebijakan pemerintah, seseorang harus tunduk pada aturan-aturan tak tertulis hanya karena profesinya.
“Kita punya warna dan cara masing-masing dalam menyampaikan kritik, tapi kenapa kami dibatasi hanya karena kami guru atau calon guru?” pungkasnya.
Reaksi Publik
Diberitakan sebelumnya, komentar seksis yang menyerang Shela di media sosial menjadi sorotan beberapa pihak, terutama mereka yang menyoroti bias gender dan seksisme yang masih mengakar dalam masyarakat.
Seorang pengguna X (Twitter) dengan akun @tok****** menulis: “Setiap ada kritik politik, terutama yang melibatkan perempuan, pasti ada saja yang nyerempet ke ‘suruh nikah aja’, seolah itu satu-satunya takdir perempuan. Ini bukan sekadar seksisme, tapi sistematis untuk meremehkan suara perempuan dan mengalihkan isu dari substansi ke omong kosong patriarki.”
Seorang wartawan perempuan di Purwakarta, Monna, turut angkat bicara. Menurutnya, komentar-komentar seperti itu mencerminkan ketidaknyamanan sebagian masyarakat terhadap perempuan yang berdaya dan berani bersuara.