Daerah

Iran, Selat Hormuz, dan Potensi Perang Dunia III

×

Iran, Selat Hormuz, dan Potensi Perang Dunia III

Sebarkan artikel ini
Iran, Selat Hormuz, dan Potensi Perang Dunia III
Rohidin, S.H., M.H., M.Si., atau Sultan Patrakusumah VIII, saat memberikan pandangan terkait dinamika geopolitik global dan potensi dampaknya terhadap stabilitas kawasan.

Penulis : Rohidin, S.H., M.H., M.Si / Sultan Patrakusumah VIII/ Pemerhati Kebijakan Publik.

 

JABARNEWS | BANDUNG – Ketegangan geopolitik global meningkat secara signifikan setelah Amerika Serikat melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir milik Iran pada 22 Juni 2025. Sebagai respons, Iran tidak hanya melakukan serangan balasan ke wilayah Israel, tetapi juga Parlemen Iran menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz—sebuah langkah strategis yang dapat memicu eskalasi konflik besar dan mengancam stabilitas global.

Situasi ini muncul dari posisi Israel yang semakin terdesak dalam konflik di kawasan. Menyikapi kondisi tersebut, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dengan cepat memerintahkan pemboman terhadap fasilitas nuklir Iran yang berada di Natanz, Fordow, dan Isfahan. Serangan dilakukan menggunakan pesawat pengebom siluman B-2 dengan bom penghancur bunker GBU-57A/B Massive Ordnance Penetrator. Tidak berhenti di sana, kapal selam milik Angkatan Laut AS turut meluncurkan 30 rudal jelajah Tomahawk, menghantam dua lokasi vital lainnya.

Target serangan tersebut merupakan pusat penting dalam pengembangan program nuklir Iran. Meskipun pemerintah AS mengklaim bahwa serangan ini dilakukan demi menjaga keamanan global, tindakan tersebut justru menuai kecaman luas dari komunitas internasional. Serangan militer yang dilakukan tanpa mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara.

Baca Juga:  PAD Jabar Ditarget Rp36,27 Triliun, Bey Machmudin Sampaikan Postur APBD Perubahan 2024

Iran merespons serangan tersebut dengan tegas. Mengacu pada Pasal 51 Piagam PBB, Iran menyatakan haknya untuk melakukan pembelaan diri. Sikap keras yang ditunjukkan Iran dalam membela kedaulatannya mendapatkan apresiasi dari berbagai pemimpin negara serta masyarakat internasional. Banyak pihak menilai bahwa keberanian Iran dalam menghadapi tekanan dari Amerika Serikat dan Israel dapat menjadi awal dari kemungkinan pecahnya Perang Dunia Ketiga—terutama jika PBB dan komunitas global tidak mengambil tindakan diplomatik yang efektif untuk meredakan ketegangan.

Aspek Hukum Internasional dan Selat Hormuz

Pasal 51 Piagam PBB secara tegas memberikan hak kepada negara yang diserang untuk melakukan tindakan pertahanan, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, tindakan balasan Iran terhadap agresi militer Amerika Serikat memiliki legitimasi hukum. Bahkan, Iran berhak untuk membentuk aliansi militer dengan negara lain guna mempertahankan kedaulatannya. Hal ini berpotensi mengubah skala konflik dari bilateral menjadi multinasional—sebuah perkembangan yang dikhawatirkan oleh banyak pihak sebagai pemicu konflik berskala dunia.

Iran, sebagai negara yang memiliki kendali atas Selat Hormuz, menyampaikan ancaman untuk menutup jalur pelayaran strategis tersebut. Selat Hormuz merupakan titik transit bagi sekitar 20% pasokan minyak dunia. Dunia internasional menyikapi ancaman ini dengan keprihatinan mendalam. Namun, dari sudut pandang Iran, langkah ini merupakan strategi geopolitik yang sah dalam rangka memberikan tekanan terhadap negara-negara Barat. Komandan Garda Revolusi Iran, Esmail Kosari, menyatakan bahwa penutupan selat tersebut dapat dilakukan kapan saja, tergantung pada situasi. Parlemen Iran telah menyetujui opsi ini, meskipun pelaksanaannya masih menunggu keputusan akhir dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.

Baca Juga:  FPN: Gencatan Senjata Palestina-Israel adalah Buah Kesabaran Revolusioner

Kemandekan NATO dan Mahkamah Internasional

Konflik antara Iran dengan Amerika Serikat dan Israel juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai posisi dan peran Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Aliansi pertahanan yang terdiri dari 32 negara ini dinilai pasif dalam menyikapi konflik tersebut. Sebagai organisasi yang memiliki mandat menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Atlantik Utara, NATO seharusnya menunjukkan komitmen untuk mendorong solusi damai. Namun, hingga saat ini, NATO belum mengeluarkan pernyataan yang jelas, dan cenderung membiarkan salah satu anggotanya—Amerika Serikat—melakukan aksi militer sepihak tanpa kecaman.

Kondisi serupa juga terlihat dari Mahkamah Internasional (ICJ). Lembaga peradilan tertinggi PBB tersebut belum mengambil langkah konkret untuk menyikapi pelanggaran hukum internasional yang terjadi dalam konflik ini. ICJ memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum internasional dan memastikan keadilan bagi negara-negara yang menjadi korban agresi. Kegagalan untuk mengambil tindakan tegas terhadap Amerika Serikat dan sekutunya justru dapat menggerus kepercayaan publik terhadap supremasi hukum internasional.

Baca Juga:  Aksi Bela Palestina di Cianjur, Mahasiswa dan Santri Bakar Bendera Israel

Dampak Global dan Seruan Perdamaian

Jika konflik ini terus berlanjut dan Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, dampaknya terhadap perekonomian global akan sangat besar. Ketergantungan dunia terhadap pasokan minyak dari kawasan Teluk menjadikan keputusan ini sebagai ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi global. Krisis energi dan kemungkinan terjadinya resesi ekonomi adalah risiko nyata yang harus dihadapi.

Selain dampak ekonomi, konflik bersenjata ini juga berpotensi menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar. Ribuan warga sipil di Iran, Israel, dan Amerika Serikat bisa menjadi korban. Sejarah panjang konflik di Timur Tengah, termasuk di Irak, Suriah, dan Ukraina, telah menunjukkan bahwa perang hanya meninggalkan penderitaan dan kehancuran.

Oleh karena itu, dibutuhkan langkah diplomasi yang nyata dan terkoordinasi. Dunia internasional, termasuk negara-negara nonblok, organisasi regional, dan PBB, harus segera mengambil peran aktif dalam mendorong upaya perdamaian. Pendekatan militer harus digantikan oleh dialog terbuka dan negosiasi yang jujur.

Masyarakat dunia saat ini menantikan lahirnya suara perdamaian dari para pemimpin global. Bukan teriakan perang yang mengoyak kemanusiaan, melainkan upaya bersama menjaga peradaban dan menghindari keruntuhan yang tidak diinginkan.***