JABARNEWS | BANDUNG – Puluhan miliar rupiah dana milik belasan pengusaha vendor diduga raib tanpa kejelasan dalam proyek ketahanan pangan di BUMD Bandung Daya Sentosa (BDS) Kabupaten Bandung. Program yang seharusnya membantu masyarakat memenuhi kebutuhan dasar justru menyisakan luka mendalam bagi para pengusaha lokal.
Tiga pengusaha—Faisal, Vita, dan Dedet—mengungkap adanya dugaan skema penyimpangan ini dalam podcast “Obrolan Waras“ dalam platform YouTube asuhan mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto . Mereka bukan sekadar pelaku usaha, melainkan representasi dari 18 pengusaha lain yang terlibat sebagai vendor BUMD Bandung Daya Sentosa (BDS).
“Saya pegang proyek Rp33 miliar,” ujar Dedet, salah satu vendor yang mengaku telah menjalankan pengadaan komoditas ayam dan ikan namun hingga kini belum mendapat kepastian pembayaran. Vita, yang juga hadir, mengaku juga mengelola proyek senilai puluhan miliar.
Alih-alih menerima hak mereka, para pengusaha justru menghadapi jalan buntu. Beberapa dari mereka mengaku selalu mendapatkan jawaban yang tidak pasti terkait hak pembayaran. Padahal, proyek tersebut dijanjikan atas dasar komitmen tinggi dari jajaran BUMD yang menyebut dirinya bekerja atas “nama bupati”.
Arah Proyek: Nama Bupati Bandung Disebut-sebut ?
Dalam kesaksian yang disampaikan secara terbuka, para pengusaha menyebut bahwa proyek ketahanan pangan ini bukan sekadar urusan bisnis biasa, melainkan mengandung nuansa politik yang kental.
Menurut Dedet, proyek tersebut muncul atas arahan langsung dari Bupati Bandung, Dadang Supriatna, dan diduga kuat terkait dengan upaya pemenangan menjelang Pilkada akhir 2024. “Kami diberi pemahaman bahwa ini adalah bagian dari program strategis bupati. Jadi kami jalani, tanpa berpikir akan dirugikan,” ungkapnya.
Lebih jauh, Vita menegaskan bahwa dalam komunikasi internal, nama bupati disebut berulang kali sebagai inisiator sekaligus penjamin moral proyek. Bahkan, Direktur Utama BUMD BDS, Yanuar Budi Norman, disebut menyatakan bahwa proyek tersebut dijalankan atas arahan dan kepentingan bupati langsung.
Program Ketahanan Pangan atau Alat Politik?
Program ketahanan pangan yang seharusnya menjamin kebutuhan dasar masyarakat, diduga berubah wajah menjadi proyek mercusuar dengan dugaan motif elektoral. Besarnya nilai anggaran yang dikucurkan—hingga ratusan miliar rupiah—menjadi pertanyaan publik: apakah ini proyek strategis atau alat politik?
Faisal, salah satu narasumber, menilai bahwa proyek ini dijalankan dengan manajemen yang tidak transparan. Bahkan, ia menduga ada skenario untuk mengalihkan tanggung jawab jika proyek bermasalah. “Dari awal, tidak ada kejelasan tertulis. Semuanya verbal. Tapi karena dikaitkan dengan bupati, kami merasa yakin dan mau jalan,” katanya.
Laporan ke Penegak Hukum: Jalan Ditempuh, Tapi Terbentur?
Para pengusaha tak tinggal diam. Mereka melaporkan dugaan penyimpangan ini ke Polda Jawa Barat dan kejaksaan. Namun, hingga kini, proses hukum belum menunjukkan hasil signifikan.
“Kalau dibilang jalan, iya. Tapi belum signifikan. Ada komunikasi, ada koordinasi. Tapi belum jelas hasilnya,” ujar Dedet terkait pelaporan ke Polda Jabar. Sementara di kejaksaan, meski laporan diterima, dan juga belum ada kejelasan. Bahkan beberapa pihak dari inspektorat mencoba mendorong penyelesaian di luar jalur hukum atau ‘damai’, namun tetap dinilai pihak Pemda atau BUMD tidak memberi kepastian.
Lebih mengkhawatirkan, penyelesaian damai ini ditawarkan melalui jalur informal dengan melibatkan perantara yang memiliki hubungan dengan para pejabat daerah. Para pengusaha merasa dirugikan dua kali—secara materi dan secara hukum.
Jejak Koneksi Politik: Dirut BUMD, DPR, dan Tim Kampanye
Dalam pembicaraan yang terus berkembang di podcast tersebut, muncul pula dugaan bahwa kasus ini tidak berdiri sendiri. Ada keterkaitan antara Yanuar Budi Norman selaku Dirut BUMD BDS dengan Tim Kampanye Bupati Dadang Supriatna.
Yang lebih mengejutkan, Ketua Tim Kampanye Dadang Supriatna saat Pilkada adalah H. Cucun Syamsul Rizal, politisi senior yang kini menjabat Wakil Ketua DPR RI juga disebut-sebut dalam kasus ini. Hubungan antara elite politik nasional dan manajemen BUMD ini menambah kuat kecurigaan bahwa proyek ketahanan pangan dijadikan kendaraan konsolidasi kekuasaan.
“Kalau benar ini diarahkan untuk pilkada, maka ini bukan lagi proyek rakyat, tapi proyek politik yang merugikan negara,” tegas Bambang Widjojanto dalam podcastnya.
Seruan untuk Mengungkap dan Mengawal
Kasus ini bukan sekadar sengketa utang-piutang antar pengusaha dan BUMD. Ini adalah gambaran rapuhnya tata kelola pemerintahan daerah, ketika program sosial berubah menjadi kendaraan kekuasaan.
Melalui Obrolan Waras, Bambang Widjojanto menyerukan agar Komisi III DPR RI ikut mengawasi dan mendorong penyelesaian kasus ini secara adil dan transparan. “Kita tidak sedang membicarakan ayam atau ikan. Kita sedang membahas bagaimana negara bisa ditipu lewat program yang seolah-olah mulia,” ujarnya.
Ia pun mengajak publik, termasuk masyarakat Kabupaten Bandung, untuk tidak diam. “Kalau warga diam, skema seperti ini akan terus berulang. BUMD hanya jadi alat, rakyat hanya jadi tameng,” tegasnya.
Kasus dugaan penyimpangan dalam proyek ketahanan pangan di Kabupaten Bandung bukan hanya soal dana yang hilang, tapi soal hilangnya akal sehat dalam mengelola negara. Ketika pengusaha lokal yang seharusnya diberdayakan malah menjadi korban, dan program rakyat dibajak untuk kepentingan politik, maka yang terancam bukan hanya anggaran—tapi masa depan demokrasi itu sendiri.(Red)