JABARNEWS | BANDUNG – Mantan Ketua DPRD Kota Banjar sekaligus kader Partai Golkar, Dadang R. Kalyubi, bersama mantan Sekretaris DPRD Banjar Rachmawati, kini duduk di kursi terdakwa Tipikor. Keduanya didakwa merekayasa tunjangan perumahan dan transportasi dengan menambahkan berbagai komponen fiktif—mulai dari biaya listrik hingga pajak—yang berujung menimbulkan kerugian negara sebesar Rp3,52 miliar.
Modus Manipulasi Tunjangan Terbongkar
Sidang di Pengadilan Tipikor Bandung yang dipimpin hakim Ketua Gatot Ardian Agustriono mengungkap bagaimana modus manipulasi tunjangan dijalankan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan bahwa tunjangan seharusnya berbentuk angka pokok sesuai aturan pusat. Namun, kedua terdakwa justru menambahkan komponen tidak sah seperti biaya listrik, air, telepon, internet, PPh 21, hingga appraisal.
Alhasil, Ketua DPRD Banjar bisa mengantongi Rp17 juta per bulan untuk perumahan dan Rp21 juta per bulan untuk transportasi. Tidak hanya pimpinan dewan, para anggota DPRD Banjar pun ikut menikmati belasan juta rupiah setiap bulan dari skema yang sama.
Saksi Bongkar Peran Ketua DPRD
Pada sidang Rabu, 3 September 2025, sejumlah saksi kunci dihadirkan, antara lain Kabid Anggaran Asep Mulyana, Kabid Perencanaan Suritno, Sekda Ade Setiana, serta pejabat Wawan Setiawan dan Yadi Setiadi.
Dalam keterangannya, Asep Mulyana menegaskan bahwa Dadang selaku Ketua DPRD Golkar secara aktif mengajukan kenaikan anggaran melalui sekwan.
“Kalau tidak ada Peraturan Wali Kota (Perwal) yang ditandatangani Bu Ade Uu Sukaesih, maka usulan itu tidak akan terealisasi,” ungkap Asep di ruang sidang.
Sementara itu, Suritno menyoroti lemahnya proses verifikasi. Ia mengungkapkan, “Dalam rapat desk anggaran, sekwan langsung menyampaikan permintaan. Angka besaran dihitung sesuai permintaan tanpa verifikasi.”
Ironi di Tengah Pandemi
Ironisnya, skandal ini terjadi pada periode 2017–2021, saat APBD Kota Banjar tengah tertekan oleh pandemi Covid-19. Ketika rakyat kehilangan pekerjaan dan harga kebutuhan pokok melambung, elite politik daerah justru menyulap APBD demi memperbesar fasilitas pribadi.
“Ini bukti bahwa dari pusat sampai daerah sama saja. Dewan kerjanya minim, tapi tunjangan minta dinaikkan terus,” ucap seorang pengunjung sidang dengan nada kesal.
Skandal Banjar kini dianggap memperlihatkan wajah telanjang praktik serakah wakil rakyat. Publik menilai bahwa DPR lebih sibuk mempertebal tunjangan daripada memikirkan nasib masyarakat.
Simbol Kemarahan Publik terhadap DPR
Momentum persidangan ini berbarengan dengan gelombang protes masyarakat menolak rencana kenaikan gaji DPR RI di Senayan. Karena itu, banyak pihak mengaitkan kasus Banjar dengan isu nasional. Seorang analis politik yang hadir menegaskan, “Kalau DPR RI tetap ngotot menaikkan gaji, publik akan selalu mengingat kasus Banjar sebagai contoh telanjang bagaimana dewan sering menjadikan jabatan sebagai mesin uang.”
Pengamat politik juga menilai kasus ini harus menjadi titik balik untuk mengevaluasi sistem penganggaran tunjangan dewan yang selama ini longgar dan rawan dimanipulasi. Tanpa pengawasan ketat dan reformasi sistemik, DPR—baik pusat maupun daerah—akan terus menjadi ladang subur bagi praktik penyalahgunaan wewenang. (Red)