JABARNEWS | BANDUNG – Sidang kasus korupsi Pasar Sindangkasih Cigasong Majalengka diwarnai dengan kesaksian penting dari tiga ahli, yakni Dr. Kartono (ahli administrasi negara), Prof. Agus Surono (ahli hukum pidana), dan Irwan Haryanto (ahli forensik digital). Mereka menyatakan bahwa Peraturan Bupati (Perbup) No. 103/2020 cacat hukum. Selain itu, unsur gratifikasi dalam kasus ini telah memenuhi syarat, dengan data digital memperkuat bukti yang ada.
Perbup No. 103/2020 Dinyatakan Cacat Hukum
Dr. Kartono menjelaskan bahwa penerbitan Perbup No. 103/2020 melanggar prosedur administrasi yang berlaku. Perbup tersebut tidak sesuai dengan aturan hierarki hukum yang lebih tinggi, seperti peraturan menteri. Ia menegaskan bahwa kebijakan semacam ini seharusnya mengikuti mekanisme yang benar.
Barna, mantan Bupati Majalengka, dalam kesaksiannya mengaku menandatangani Perbup pada 27 November 2020. Namun, dokumen itu ternyata dibuat mundur ke tanggal 18 November 2020. Barna berdalih bahwa ia hanya menerima dan menandatangani draft yang sudah disiapkan oleh bagian hukum.
Unsur Gratifikasi Terbukti Memenuhi Syarat
Prof. Agus Surono menilai unsur gratifikasi dalam kasus ini sudah jelas terpenuhi. Bukti menunjukkan adanya pemberi dan penerima. Ia mengutip Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12 (ayat 12a dan 12b) Undang-Undang Tipikor sebagai dasar hukumnya.
Agus Surono juga menjelaskan, perbedaan suap dan gratifikasi. Suap terjadi dalam konteks permintaan dan tawaran yang jelas, dan biasanya melibatkan tindakan ilegal atau melanggar etika.
“Sedangkan gratifikasi bisa disebarkan secara umum dan bisa bersifat legal, tetapi sering kali dapat menjadi suap jika diberikan dengan niat untuk mendapatkan manfaat tertentu dari pejabat yang menerimanya,” ujarnya.
Namun keduanya, pemberian uang, barang, hadiah atau janji yang diterima oleh penyelenggara negara yang diberikan dalam konteks jabatan mereka. Itu bertujuan untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan yang bersifat tidak sah.
“Perdamaian antar pihak dalam perkara perdata tidak menghapus tindak pidana yang sudah terjadi,” tegasnya.
Data Digital Perkuat Bukti
Irwan Haryanto menyoroti peran bukti digital dalam kasus ini. Ia menjelaskan bahwa tangkapan layar, dokumen digital, atau foto dapat menjadi bukti otentik. Keaslian data dapat diverifikasi melalui perangkat seperti ponsel atau laptop yang digunakan untuk membuatnya.
“Bukti digital ini memberikan kepastian yang lebih kuat terhadap keterlibatan pelaku dalam tindak pidana korupsi,” ujar Irwan.
Penegasan Akhir
Kesaksian para ahli ini semakin memperjelas bahwa Perbup No. 103/2020 tidak hanya cacat hukum, tetapi juga menjadi dasar untuk tindak pidana gratifikasi. Data digital yang tersedia memperkokoh bukti, memastikan bahwa kasus ini memenuhi unsur pidana sesuai hukum yang berlaku.(Red)