Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda mayoritas rakyat Indonesia, pamer kemewahan seperti itu dinilai sebagai tamparan keras bagi mereka yang berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Pelajaran Pahit dari Kursi Kosong
Keempat kursi kosong di gedung parlemen itu kini menjadi pengingat bagi seluruh wakil rakyat tentang betapa besarnya kekuatan rakyat ketika mereka merasa dikhianati.
Kontroversi tunjangan DPR ini bukan sekadar soal uang, tetapi tentang kepercayaan, empati, dan tanggung jawab moral seorang wakil rakyat.
Gedung DPR yang berbentuk kura-kura itu pernah menjadi saksi jatuhnya Soeharto pada 1998, ketika mahasiswa menduduki gedung tersebut dan memaksa Presiden yang menjabat selama 32 tahun itu turun dari kekuasaan.
Kini, ia kembali menjadi saksi bagaimana kekuatan rakyat mampu menggulingkan mereka yang dianggap tidak layak mewakili aspirasi bangsa.
Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya, keempat nama ini akan diingat dalam sejarah sebagai wakil rakyat yang kehilangan jabatannya bukan karena korupsi atau skandal keuangan, melainkan karena kehilangan hal yang paling fundamental dalam demokrasi, KEPERCAYAAN RAKYAT.
Keputusan penonaktifan keempat anggota DPR ini menjadi peringatan keras bagi seluruh elit politik Indonesia.
Bahwa rakyat sedang mengawasi dengan mata terbuka lebar, dan mereka tidak akan segan-segan menjatuhkan siapa pun yang dianggap mengkhianati amanah yang telah diberikan.
Di tengah hiruk pikuk politik yang memanas, mungkin kata-kata Presiden Prabowo yang paling relevan untuk direnungkan.
“Indonesia sedang berada di ambang kebangkitan. Jangan sampai kita diadu domba. Mari kita suarakan aspirasi dengan damai, tanpa merusak, tanpa kerusuhan, dan tanpa penjarahan. Semangat dari nenek moyang kita adalah gotong royong. Mari kita bergotong royong menjaga Tanah Air,” pungkas Presiden Prabowo.
Empat kursi kosong itu bukan hanya simbol kegagalan individu, tetapi juga pengingat bagi seluruh bangsa Indonesia bahwa demokrasi bukanlah permainan.
Kursi di gedung parlemen membutuhkan tanggung jawab, empati, dan yang terpenting adalah kemampuan untuk mendengarkan suara rakyat dengan hati yang tulus.(Hen)