Negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme sesungguhnya tidak pernah hadir murni untuk melayani rakyat.
Sebab, sistem ekonomi ini memberikan kebebasan penuh bagi semua orang yang memiliki modal untuk mengendalikan kegiatan ekonomi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Hal ini berarti seluruh kegiatan ekonomi dilakukan oleh pihak swasta dan bukan oleh pemerintah. Posisi pemerintah hanya sebagai regulator.
Sehingga tidak mengherankan jika produksi migas saat ini dikuasai oleh korporasi milik para kapitalis atau pihak swasta.
Berdasarkan data ditjen migas, total produksi gas Indonesia pada tahun 2009 mencapai 8.390 MMSCFD. Produksi Total E&P pada tahun 2009 mencapai 2.738.65 MMSCFD, Conoco Phillips 1.434.82 MMSCFD, Pertamina dan mitra 1.045.15 MMSCFD, BP Tangguh 225.83 MMSCFD, ExxonMobil 651.69 MMSCFD, Vico 464,81 MMSCFD, Petrochina 322.27 MMSCFD, Chevron 313 MMSCFD, PHE ONWJ 300,84 MMSCFD dan Santos 131,44 MMSCFD. Sementara total produksi dari berbagai KKKS lainnya mencapai 757,53 MMSCFD.
Dari data di atas dapat diartikan bahwa produksi migas yang dikelola oleh negara yaitu Pertamina dan mitra hanya sekitar 12.5% dari total produksi migas yang ada di tahun 2009 dan sisanya yaitu 87.5% dikuasai oleh pihak swasta.
Kondisi ini tentu hanya akan merugikan rakyat. Jika menilik pada tujuan ekenomi kapitalis, yaitu untuk mendapatkan keuntungan. Kondisi ini jugalah yang mengakibatkan rakyat harus membeli dengan harga mahal dikarenakan produksi migas dalam negeri dikuasai oleh pihak swasta.
Kondisi yang bertolak belakang akan tercipta apabila Islam dianggap sebagai sebuah ideologi yang bisa diterapkan dalam sebuah negara, bukan sebagai agama belaka.
Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah sebagai kepala negara dan dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya.
Di mana sistem Islam mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, tidak hanya si miskin tetapi juga si kaya mendapat perlakuan yang sama.