Apindo: Tuntutan Kenaikan Upah Buruh Beratkan Industri Garmen

JABARNEWS | BANDUNG – Ketua Badan Pengurus Provinsi (BPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Dedy Widjaja, keluhkan permintaan buruh yang menuntut kenaikan upah 25 persen. Dia menilai, tuntutan itu sangat memberatkan, terutama bagi industri padat karya, khususnya garmen.

Dedy mengungkapkan, mencuatnya tuntutan itu karena sebagian pekerja menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan pemerintah sebesar 8,03 persen.

“Buruh beranggapan besaran UMP itu berdasarkan Peraturan Pemerintah 78/2015. Namun, kalangan serikat pekerja sendiri mengajukan kenaikan UMP 2019 sebesar 25 persen, berdasarkan UU 13/2003,” kata Dedy, dikutip Tribun Jabar, Rabu (24/10/2018).

“Menghadapi kondisi itu diperlukan adanya regulasi pengupahan khusus yang diterbitkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat,” tambah Dedy.

Baca Juga:  Setelah Hari Kemerdekaan, 27 SMA/SMK di Bandung Barat Gelar Sekolah Tatap Muka

Lanjut dia, saat ini, industri garmen, khsusunya di Jabar dalam kondisi yang sangat berat.

Menghadapi kondisi itu, dalam dua tahun terakhir, industri garmen menetapkan nilai upah secara khusus, di mana nilainya di bawah upah minimum kabupaten kota (UMK).

“Kenaikan 25 persen yang dituntut kalangan pekerja, bagi industri garmen sangat memberatkan. Kalau pun terjadi kenaikan, nilainya harus mengacu kepada nilai yang diberlakukan secara khusus, yaitu di bawah UMK, bukan pada nominal UMK yang berlaku saat ini,” kata Dedy.

Dicontohkannya, misalnya UMK senilai Rp 2.000.000, maka upah pekerja industri garmen yang berlaku khusus adalah sejumlah Rp 1.750.000. Jika harus terjadi kenaikan, kenaikan itu harus mengacu kepada jumlah UMK khusus yaitu dari Rp 1.750.000 dan bukan dari Rp 2.000.000.

Baca Juga:  Tragis, Bocah TK Ini Tewas Terjepit Pintu Gerbang Otomatis

“Apabila kenaikannya berdasarkan nominal UMK yang berlaku, maka industri garmen Jabar akan semakin terancam keberadaannya. Bagi garmen Jabar sangat berat. Sehingga saat ini garmen Jabar hanya punya dua opsi, tutup atau relokasi (ke luar provinsi),” katanya.

Setop Produksi

Dedy menyebutkan, industri garmen di Purwakarta, yang total pekerjanya sekita 4 ribu orang, terpaksa setop produksi karena tidak sanggup lagi menanggung beban.

Berkaca dari hal ini, kata dia, agar industri garmen Jabar terselamatkan, perlu ada regulasi pengupahan khusus yang diterbitkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar.

Baca Juga:  Seharian Amati Hilal, Tim Observatorium Bosscha Gagal Deteksi Bulan

“Jika tidak, besar kemungkinan industri garmen di Jabar akan setop produksi atau relokasi. Jika relokasi, maka daerah Jawa Tengah menjadi sentra pilihan mengingat UMK di sana rata-rata jauh di bawah UMK Jabar,” ujarnya.

Menurut dia, beratnya beban yang dipikul garmen Jabar sudah terbukti dengan adanya sejumlah industri itu yang setop produksi dan ada juga yang relokasi ke Jateng.

“Selain dua industri garmen di Purwakarta yang tutup belakangan, sebelumnya belasan industri lainnya sudah tutup terlebih dahulu. Terkini, kata Dedy, beberapa industri garmen lainnya di sejumlah daerah, juga terancam gulung tikar, antara lain di Subang, Depok, Bogor, dan Bekasi,” imbuhnya. (Des)

Jabarnews | Berita Jawa Barat