Obesitas Masuk Daftar Berisiko Terinfeksi COVID-19

JABARNEWS | BANDUNG – Orang-orang yang kelebihan berat badan berisiko lebih tinggi terinfeksi COVID-19. Ini merupakan peringatan bagi masyarakat dan pemerintah di tengah gencarnya promosi makanan dan minuman tidaksehat melalui media massa dan media sosial.

Dilansir pada laman theconversation.com, menyebutkan berbagai jurnal ilmiah seperti The Lancet dan World Medical and Health Policy baru-baru ini menekankan pentingnya penanganan obesitas dalam mitigasi kebijakan COVID-19.

Risiko itu diketahui dari berbagai kajian sistematis dan meta-analisis terbaru yang dilakukan setelah muncul COVID-19. Riset tersebut menemukan hubungan erat antara obesitas dan COVID-19.

Salah satu studi besar di Amerika Serikat terhadap lebih dari 4.000 pasien COVID-19 mengidentifikasi obesitas sebagai risiko utama yang mempermudah infeksi virus corona pada orang yang kelebihan lemak di badan.

Studi pada 112 pasien COVID-19 di Cina menemukan 15 dari 17 pasien yangmeninggal memiliki obesitas. Sementara itu, studi lain di Prancis menemukan setengah dari pasien COVID di Kota Lille merupakan orang-orang yang kelebihan berat adan.

Obesitas Menambah Faktor Orang Terjangkit COVID-19.

Pada awal pandemi COVID-19, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menyatakan penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes melitus, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung sebagai faktor risiko memburuknya diagnosis dan komplikasi COVID-1.

Baca Juga:  Temukan Sumber Minya dan Gas Baru di Bekasi dan Indramayu, Pertamina Yakin Bisa Capai Target Produksi

Untuk mengurangi obesitas, dan demikian dapat menurunkan risiko infeksi virus corona, pemerintah Indonesia tidak cukup hanya dengan kampanye dan edukasi gaya hidup sehat. Pemerintah juga harus membatasi akses makanan dan minuman yang tidak sehat di masyarakat dengan pendekatan struktural.

Berbagai negara di dunia telah mengeluarkan pedoman dan rekomendasi nasional mengenai obesitas sebagai bagian dari kebijakan penanganan COVID-19, dengan strategi terbaru yang lebih dari sekadar kampanye hidup sehat.

Strategi Penanganan Obesitas di Masa Pandemi

Menjadi gemuk bukan hanya faktor individual, tapi juga pengaruh dari gencarnya promosi industri makanan dan mudahnya akses makanan dan minuman yang tidak sehat di masyarakat.

Selain itu, obesitas juga merupakan “dampak” dari makin habisnya taman-taman kota dan ruang olahraga publik, karena diubah jadi ruang komersial, yang sebelumnya dipakai warga untuk olahraga.

Sebelum COVID-19 muncul, sedikit sekali riset yang menghubungkan obesitas dan penyakit menular. Satu studi di Inggris dan Skotlandia mencatat adanya hubungan antara obesitas dan tingkat kematian dari penyakit menular secara umum.

Baca Juga:  Ini Bocoran Moeldoko Soal Lembaga Negara yang Akan Dibubarkan Jokowi

Satu studi lain menunjukkan bahwa obesitas dikaitkan dengan meningkatnya inflamasi yang memperburuk respons imunitas tubuh akan infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit.

Jelas ada hubungan kelebihan lemak di tubuh dan risiko terinfeksi virus corona. Sejak Juli 2020, misalnya, Pemerintah Inggris melarang iklan online dan televisi untuk produk makanan yang tinggi lemak, gula, dan garam sebelum pukul 9 malam.

Pemerintah di sana juga mewajibkan restoran, kafe, dan penyedia makanan yang dibawa pulang untuk menampilkan jumlah kalori makanan dibuku menu, dan melarang penjualan ‘Beli 1 Gratis 1’ untuk produk makanan tidak sehat.

Sejak Juni 2020, parlemen Kota Tabasco di Meksiko melarang distribusi penjualan dan donasi makanan dan minuman tidak sehat kepada anak-anak. Kota Tabasco juga melarang penempatan mesin penjual otomatis minuman berpemanis di pusat kesehatan dan pendidikan.

Pemerintah Kota Oaxaca, juga di Meksiko, melarang penjualan makanan cepat saji untuk anak di bawah 18 tahun dan menerapkan pelabelan tidak direkomendasikan untuk anak-anak di kemasan minuman berpemanis.

Sementara itu, pemerintah Luxembourg mengidentifikasi mereka rentan dan menerapkan pedoman bagaimana mereka dapat tetap bekerja dengan aman. Pemerintah di sana menekankan perusahaan dan pemberi kerja untuk memberikan proteksi khusus bagi pekerja yang mengalami obesitas.

Baca Juga:  Bungkus Sabu Di Dalam Wafer, 2 Pemuda Lebaran Di Penjara

Kebijakan itu masuk akal karena sebuah riset di 68 negara (miskin, berkembang dan maju) menunjukkan sistem kesehatan secara umum belum dapat mengelola pasien dengan obesitas tinggi. Sebagai contoh, tidak semua unit operasi di rumah sakit memiliki tempat tidur dan alat transportasi khusus, serta keterbatasan inkubasi dan pencitraan medis.

Penanganan obesitas pun seharusnya dimasukkan dalam inti penanganan COVID-19. Pandemi COVID-19 telah membuka lebih luas fakta tingginya kerentanan dan ketimpangan akses pangan di masyarakat di berbagai belahan dunia.

Akar penyebab mendalam pada epidemi obesitas bisa dilacak pada sistem agrikultur yang mendorong produksi makanan olahan dengan harga murah serta agresifnya industri pangan transnasional yang mengeksploitasi pandemi COVID-19 untuk mempromosikan makanan dan minuman tidak sehat.

Mereka semakin mudah diakses melalui teknologi pesan antar seperti Grabfood dan bahkan mendistribusikan produk gratis yang rendah gizi untuk pekerja kesehatan dan pegawai kunci lainnya di rumah sakit. (Theconversation.com)

Penulis: Citta Widagdo, University of Birmingham