JABARNEWS | JAKARTA – Gugatan senilai Rp200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap media Tempo menuai kritik tajam dari kalangan akademisi dan aktivis.
Para pakar menilai langkah hukum tersebut merupakan tanda menguatnya praktik kekuasaan yang mengarah pada otoritarianisme dan menjadi ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Pandangan itu mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Amran Sulaiman Hancurkan Ekosistem Pers karena Gugat Media. Apa Dampaknya?” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Kamis, 6 November 2025.
Kegiatan yang disiarkan secara live di akun YouTube AJI Jakarta ini menghadirkan empat narasumber: Asfinawati dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, produser Dirty Vote Dandhy Dwi Laksono, Dosen FISIP Universitas Indonesia Emir Chairullah, dan Mustafa Layong, Direktur LBH Pers.
Dalam forum itu, Dandhy Dwi Laksono menilai gugatan Amran menjadi bagian dari kecenderungan menguatnya kekuasaan yang tertutup terhadap kritik publik.
Ia menyebut gejala menuju negara otoriter semakin terlihat dari berbagai aspek, mulai dari dominasi militerisme, absennya oposisi di parlemen, hingga politik kartel dan oligarki.
“Niatnya Amran memang ingin menutup Tempo, cuma dia malu-malu jadi Soeharto. Ini melengkapi sebuah ruang yang makin tervalidasi masuk ke fase otoritarianisme,” ujarnya, dikutip Jum’at (7/11/2025).
Sementara itu, Asfinawati menilai gugatan yang dilakukan Menteri Pertanian terhadap Tempo merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Ia menjelaskan, Amran memakai fasilitas dan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi karena menggugat atas nama pribadi namun tetap memanfaatkan posisinya sebagai pejabat publik.
“Dia mendayagunakan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi, penyalahgunaan kekuasaan. Orang kerja tidak beres, dia menolak kritik publik, dia sedang menutup jejak kinerjanya,” kata mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini.





